Kapan Ziarah Ramah Peziarah?

Simalakama Kotak Amal & Peminta-mita Komplek Makam SGJ
Oleh mustain*

Peziarah butuh kenyamanan berziarah.
 Namun nyatanya kenyamanan itu terasa maya,
 jauh sebelum sampai tahlil berjama’ah di depan Pintu Pasujudan.
Oleh kotak tanpa identitas dan peminta-minta yang tak bersahabat,
kenyamanan dibegal di tengah jalan.
Duh, Kenyamanan ziarah benar-benar terampas.
 SAMPAI KAPAN?

Angin segar wisata ziarah ketika Menteri Arief Yahya menyebutkan bahwa Kementerian Pariwisata akan fokus pada tiga hal untuk membangun dan memperbaiki tata kelola destinasi wisata ziarah, yakni pemasaran, destinasi, dan Sumber Daya Manusia (SDM). Masih menurut Menteri Arief, mulai tahun depan, per satu lokasi destinasi wisata ziarah akan dialokasikan dana Rp 1 miliar untuk biaya pengelolaan destinasi khususnya sanitasi bersih. Sementara terkait SDM, pihaknya akan menyiapkan 100 orang perlokasi untuk memberikan bimbingan teknis soal hospitality di sebuah destinasi wisata ziarah.

Lepas dari perdebatan peristilahan wisata kok ziarah, ziarah kok jadi wisata. di Cirebon banyak destinasi wisata ziarah. Salah satu yang banyak dikunjungi adalah Situs Makam Sunan Gunung Jati (SGJ), apalagi kalau malam Jum’at Kliwon. Destinasi ini terletak di desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, tak pernah lekang dari peziarah, tak pernah senyap dari gemuruh tahlil, non stop 24 jam. 

Untuk Cirebon, kawasan ziarah Makam SGJ harusnya menjadi prioritas dilakukan pembenahan, utamanya SDM. Untuk revitalisasi fisik bangunan, sedikit banyak sudah pernah dilakukan pada era menteri Agung Laksono. Dan sebenarnya, tak harus sepenuhnya mengandalkan pecingan (kucuran dana segar) dari Kemenpan, pembenahan yang dimaksud ini bisa dilakukan segera oleh pihak-pihak yang punya otoritas di Komplek Makam SGJ.


Selama ini isu utama keluhan yang membuat kawasan ziarah makam SGJ dinilai tak ramah para peziarah adalah peminta-minta. Beragam tipe dan modus peminta-minta di Komplek makam SGJ, yang sangat dikeluhkan para peziarah adalah peminta-minta yang memaksa bahkan menarik-narik baju, yang menguntit dari parkiran mobil hingga depan gapura pertama memasuki area komplek makam SGJ. Di tambah lagi, di gapura tersebut dihadang kotak-kotak tanpa identitas.

Sampai Kapan Peminta-minta?
Ahmath Saefudin, seorang peziarah dari Jakarta, mengeluhkan perilaku peminta-minta di kawasan ziarah makam SGJ. Saat itu selesai tahilan, ia keluar dari komplek makam SGJ, langsung menjadi target peminta-minta usia sekitar 15 tahun ke atas. Ia sudah meminta maaf tidak bisa kasih, malah si peminta-minta terus memaksa dan menguntit hingga parkiran mobil.

Itu hanya satu di antara sekian keluh kesah para peziarah di komplek makam SGJ. Sebagian cerita keluh kisah itu bisa dengan mudah kita temukan di media sosial dan blog maupun website.

Rata-rata para peziarah yang mengeluhkan perilaku peminta-minta di komplek makam SGJ kadang selalu membandingkannya dengan kawasan ziarah makam-makam wali songo lainnya. Mereka seragam berpendapat, perilaku peminta-minta di kawasan makam SGJ sangat mengganggu dan membuat suasana hati tak nyaman. Di kawasan makam wali songo lainnya tidak ditemukan perilaku peminta-minta se-mengganggu ini.

Mungkin saja praktek Peminta-minta di kawasan ziarah makam SGJ tidak bisa dihentikan atau diusir. Karena (katanya) di masa lampau sudah pernah ditindak aparat keamanan pun, seminggu kemudian mereka beraksi lagi. Untuk itu, sepertinya perilaku mereka cukup ditatakramakan kembali agar lebih sopan, dan perlu pengawasan intensif di lapangan. Ini sangat dibutuhkan peran serta para pemangku kebijakan, baik dari pihak keraton maupun pemerintahan setempat. Katakanlah ini penanganan jangka pendek, tapi siapa tahu penuh greget, bisa berefek panjang ke arah yang lebih baik terhadap image wisata ziarah di Cirebon.

Untuk mentatakramakan perilaku mereka, setidaknya diperlukan semacam papan reklame dan sejenisnya, berisikan himbauan kepada para peziarah dalam menyikapi peminta-minta. Sertakan juga aturan main, sanksi atau efek jera, bagi peminta-minta yang berperilaku ‘preman’.  Untuk penegasan, perlu juga terpampang foto sultan dan petinggi pemerintahan setempat pada papan reklame atau spanduk tersebut. Nantinya dipasang di tempat-tempat strategis, utamanya jalur sepanjang parkiran mobil menuju komplek makam SGJ. Dan diperlukan sepanjang jalur tersebut disiagakan beberapa petugas agar bisa ‘menjewer’ peminta-minta jika masih nakal dan meresahkan.

Mungkin saja usul se-uprit di atas dipandang tidak efektif. Namun, Seefektif apapun tindakannya, persoalan yang sudah sangat mengakar dan sudah diketahui umum itu harusnya sudah selesai jika ketegasan dan keberanian benar-benar ada.

Sampai Kapan Kotak Amal Penghalang Ziarah?
Sesungguhnya sampai saat ini tidak ada tiket masuk bagi para peziarah yang hendak berziarah di komplek makam SGJ. Namun, kotak-kotak amal beserta penunggunya yang berderet di gapura pertama jalur masuk para peziarah, memberi kesan yang berbeda. Apa gerangan?

Meresahkan: Kotak Amal & Penunggunya
di Gapura paling depan
Sekilas mungkin tak jadi persoalan keberadaan kotak-kotak beserta penunggunya itu. Kita kasih saja seikhlasnya, seadanya kita mau kasih. Kalau pun kita tidak ada krenteg ning ati (niat) mau kasih, karena mungkin tidak ada duit recehan, kita bisa langsung berlalu saja langsung menuju lokasi ziarah sembari sopan adat ketimuran dengan bahasa tubuh memohon maaf tidak bisa kasih.

Tapi fakta merekam, kotak-kotak amal dan penunggunya itu menjadi keluhan dan keresahan kebanyakan peziarah. Apa sebab? Sebut saja Ninuk, dalam salah satu portal informasi wisata, ia mengkisahkan pengalamannya berziarah di komplek makam SGJ. Ia mengalami langsung, menurutnya gebrakan tangan penunggu kotak amal menakut-nakuti peziarah apabila menolak untuk mengisi kotak. Dalam kisahnya Ninuk menyebutkan, berdasar informasi dari guidenya, upaya menertibkan konon sudah pernah ada. Sultan pernah memerintahkan mereka untuk berhenti meminta donasi tidak resmi tersebut, namun seminggu-dua minggu kemudian timbul kembali.

Pengalaman serupa dialami Nanang, ia tidak ada duit receh hingga tak ada niat mengisi kotak, dengan bahasa tubuh yang sopan ia pun mengutarakannya, namun dihalangi untuk berlalu lewat dan memaksanya untuk mengisi kotak. Ia pun terpaksa mengeluarkan duit bukan recehan, dan sudah bisa ditebak pasti tidak bakal ada duit kembalian.

Dengan perilaku menghalangi dan memaksa dari penunggu kotak itu, bermunculan tanya bernada su’udhon, sungguh di kemanakan isi kotak itu? Apakah benar untuk kebutuhan pemeliharaan komplek makam SGJ? Atau masuk ke kotak kantong pribadi dengan mencatut kuasa sultan? Perlu penelusuran lebih lanjut untuk menemukan ujung jejaknya. Namun bagaimanapun, dengan kasat mata melihat perilaku mereka, itu sudah cukup bagi kita untuk mengatakan alangkah indahnya jika jalur utama menuju komplek makam SGJ terbebas dari ranjau kotak-kotak yang meresahkan. Steril selamanya, demi kenyamanan para peziarah.

Kotak infaq Pengajian
depan lawang Krapyak
Di area dalem kawasan komplek makam SGJ, di samping Paseban Soko/Paseban Brai dan depan Lawang Krapyak sebelum masuk pekemitan/pesambangan, sebenarnya ada kotak amal juga. Tapi sepertinya berbeda, kotak amal tersebut sudah jelas peruntukannya dan tanpa penunggu. Ia dibiarkan bersahaja, siapa pun boleh mengisi seikhlasnya atau tidak mengisi sekalipun.



Bilapun kotak-kotak amal itu masih diperbolehkan bisa eksis di sepanjang jalur utama menuju komplek makam SGJ, maka tawarannya adalah aturan perizinan harus lebih dipertegas. Selain aturannya nanti mempertegas kejelasan peruntukannya, di antara pasal-pasalnya nanti harus mempertimbangkan kenyamanan bagi para peziarah dan pengunjung. Misalnya penempatan kotak amal tidak boleh menghalangi jalan peziarah, dan bila kotak tersebut berpenunggu maka ia harus bersikap sopan.

Setelah aturan diketok palu, perlu juga seorang penanggung jawab penegak aturan yang tegas dan berjiwa KPK. Orang yang konsisten, tidak sembarang meloloskan izin kotak amal bila (misalkan) izin itu tidak harus sampai ke meja Sultan maupun pemegang kuasa ototiras tertinggi. Dan ia tidak tebang pilih jika ada kotak amal yang menyalahi aturan dan yang nyelonong eksis tanpa melalui proses perizinan yang legal.

Perilaku pemintan-minta dan kotak-kotak amal serta penunggunya yang meresahkan tersebut, sekali lagi perlu ketegasan dan keberanian yang istiqamah dari pemangku kebijakan yang punya kuasa di kawasan komplek makam SGJ. Tegas di mulut dan pelaksanaan. Ini penting, untuk menularkan dan mensuport kuasa, ketegasan, dan keberanian para petugas di lapangan, utamanya ketika berhadapan dengan pelaku (yang seolah) punya kuasa, seperti mengaku-ngaku masih kerabat keraton maupun memang kerabat keraton, yang mencatut kuasa Sultan maupun yang berdalih ‘ingsun titip tajug lan fakir miskin’. Dan untuk membantu petugas di lapangan, masyarakat perlu melibatkan diri di dalamnya. Beranikah masyarakat?

Pada akhirnya, mengingat pembiaran itu masih berlangsung hingga saat ini, para peziarah menempuh jalur alternatif, dengan cara menciptakan tips-tps kenyamanan untuk diri mereka sendiri. Tapi mau sampai kapan...? Bapak Sultan, Bapak Bupati Cirebon, Bapak Camat Gunung Jati, Bapak Kuwu Astana, Bapak Jeneng, ayo lah..... [must]

*Penikmat Cirebon
Ciputat, 25 November 2015 

Comments