Dengarkan kisah
menarik tentang seorang pangeran bernama Pangeran Sujatmaningrat (Pangeran
Panganten) yang mendirikan rumah di Desa Gebang Kulon. Rumah ini sekarang
dikenal dengan nama Keraton Gebang, dengan lambang patung gajah putih. Sekarang
keraton ini digunakan sebagai rumah tinggal keturunan keluarga Pangeran
Penganten. Lokasi: Desa Gebang Kulon,
Kecamatan Gebang (sumbere jeh...)
Menelusuri Cirebon dan
kawasan pantai utara Jawa Barat memang akan banyak menjumpai tinggalan yang
berkaitan dengan sejarah Cirebon dan islamisasi Jawa Barat. Beberapa bangunan
sudah banyak dikenal masyarakat seperti Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan
Kacirebonan, Taman Sunyaragi, serta kompleks makam Gunung Sembung dan Gunung
Jati. Di luar peninggalan itu masih banyak objek lain yang selama ini kurang
diperhatikan masyarakat.
Keraton Gebang terdapat di Dusun Krapyak, Desa
Babakan Kulon, Kecamatan Babakan. Pada tahun 1689, wilayah Gebang ditetapkan
sebagai daerah protektorat kompeni yang meliputi daerah pantai Cirebon di utara
hingga Cijulang di selatan serta sebelah barat berbatasan dengan Kesultanan
Cirebon dan sebelah timur dengan Kesultanan Mataram. Pangeran Sutajaya diberi
hak untuk memerintah wilayah-wilayah atau suku-suku di daerah Kepangeranan
Gebang.
Pangeran Sutajaya adalah putra Aria Wirasuta,
cucu Pangeran Paserean, cicit Susuhunan Gunung Jati. Keraton Gebang didirikan
oleh Pangeran Sutajaya sebagai pusat pemerintahan Gebang dan juga difungsikan
untuk gudang logistik Kesultanan Mataram dalam rangka penyerbuan ke Batavia.
Jan Pieterzoon Coen mengetahui hal ini kemudian mengirim pasukan untuk
menghancurkannya.
Setelah peristiwa ini, Pangeran Sutajaya
menikahkan putrinya yang bernama Ratu Agung dengan Pangeran Sujatmaningrat atau
Pangeran Pengantin dari Kesultanan Kanoman. Pada tahun 1860 Pangeran
Sujatmaningrat mendirikan keraton baru sebagai pengganti keraton yang
dihancurkan oleh Belanda yang hingga sekarang masih berdiri dan disebut dengan
Keraton Gebang.
Kompleks Keraton Gebang
berada pada lahan di sebelah utara jalan kampung. Jalan masuk utama berada di
bagian tengah sisi selatan dilengkapi bangunan gerbang beratap genting. Jalan
masuk lainnya berada di sebelah timur jalan masuk utama. Bagian halaman depan
terbagi dua, bagian timur merupakan bagian memanjang dari depan ke belakang. Halaman
depan bagian barat terbagi lagi dalam dua bagian yaitu depan dan belakang.
Halaman depan barat bagian depan cenderung terbuka tanpa ada bangunan. Pada
pembatas halaman barat depan dan belakang terdapat bangunan panggung yang
dihias dengan gunungan dan wadasan di kanan dan kirinya. Di depan (selatan)
bangunan panggung ini terdapat patung gajah berwarna putih. Di samping kanan
dan kiri bangunan panggung terdapat jalan memasuki halaman bagian dalam. Di
kanan dan kiri masing-masing jalan masuk terdapat taman dengan motif wadasan.
Di sebelah barat
bagian halaman ini terdapat halaman yang merupakan bagian dari halaman depan
sisi barat. Pada bagian ini, terdapat bangunan mushala kecil. Di sebelah barat
sedikit ke utara bangunan mushala terdapat bangunan dengan atap berbentuk
pelana. Bangunan ini terdiri tiga ruangan. Ruangan paling selatan merupakan
kamar mandi dengan bak mandi dari bahan keramik berbentuk bundar. Ruang tengah
difungsikan untuk menyimpan becak dan pedati kuna serta beberapa tiang untuk
panji dan bendera. Ruangan paling utara merupakan tempat makam dua anggota
keluarga. Makam tersebut berjirat persegi, agak tinggi dari bahan batu. Nisan
berbentuk pipih bergaya “Demak – Troloyo”.
|
Comments
dekat rumah saya ini :) hehe
ReplyDeleteData yang ada pada saya, Sunan Gunung Djati, berputra Pangeran Pasarean, Pangeran Pasarean Berputra Pangeran Dipati, Pangeran Dipati Berputra Pangeran Arya Oepas dan Pangeran Arya Oepas baru berputra Pangeran Wirasoetadjaya, Pangeran Wirasoetadjaya berputra Pangeran Natamanggala, Pangeran Natamanggala berputra Pangeran Soetadjaya I dst. (tulisannya sudah sulit dibaca), Yang Putrinya Ratu Djanggi menikah dengan Paneran Wisnoe dari Kanoman yang berputrakan Pangeran Alibassa yg menurut Kompas memimpin perlawanan terhadap Belanda di daerah Bekasi yang awalnya dikenal sebagai bapak Rama dan akhirnya terbongkar bahwa itu Pangeran Alibassa Jadi mana yang benar Ya ? Entahlah .......
ReplyDeleteisun durung pernah mampir... isin co dadi wong cirebon
ReplyDelete