Oleh Toto Amsar Suanda (Artikel tahun 2000)
I
Siapa yang tak kenal topeng[1] Cirebon! Di
kalangan orang-orang tari, khususnya di Jawa Barat, genre tari
ini tidaklah asing. Dalam kehidupan sosial-budaya (terutama kehidupan budaya) masyarakat Cirebon dan sekitarnya,
topeng mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting. Selain diyakini
sebagai ciptaan Sunan Kali (demikian mereka memendekkan nama Sunan Klalijaga)
atau Sunan Panggung, topeng Cirebon juga mempunyai nilai
religius/spiritual (ada jejak wali di
dalamnya) dan nilai magis atau kekuatan khusus yang dipercaya dapat memberikan
sesuatu yang berarti bagi kehidupan, baik secara kelompok maupun secara
individu. Dalang topeng sehari-harinya dianggap sebagai orang biasa, namun
manakala ditanggap (manggung) ia dianggap mempunyai kekuatan khusus yang bisa
mengobati orang sakit, memberkahi bayi, memberkahi pedagang, petani, gadis yang
belum menikah dan sebagainya.[2]
Masa lalunya yang
gilang-gemilang dimulai manakala
topeng Cirebon dijadikan sebagai media penyebaran agama Islam oleh para wali di
daerah Cirebon dan sekitarnya. Selepas itu, topeng Cirebon eksis sebagai sarana
hiburan dalam berbagai upacara di masyarakat.
Seni topeng secara umum bukanlah kesenian unik di Cirebon saja. Topeng
sebagai seni pertunjukan terdapat di banyak tempat lain, di seantero Indonesia,
bahkan hampir di setiap pelosok jagat ini. Akan tetapi, tentu saja banyak
keunikan-keunikan yang bisa kita lihat dalam topeng Cirebon.(Endo Suanda,
1995:1).
Di Cirebon pun, sebagai genre tari yang besar,
topeng Cirebon tersebar di berbagai daerah tidak saja hanya di wilayah Cirebon akan tetapi juga di daerah-daerah
lainnya seperti di Indramayu, sebagian kecil daerah Majalengka dan di sebagian
kecil daerah Subang. Keunikannya tidak saja dapat dilihat dari segi ragam
pertunjukannya akan tetapi juga dari
segi proses pembentukan kesenimanannya—terutama dalang topengnya—yang pada
umumnya melakoni proses yang berliku-liku dan memakan waktu yang amat panjang
dan melelahkan.
Ketahuilah misalnya, Dewi dan Sawitri (kini
almh.) dalang topeng[3] asal Losari; Suteja, Suparta, Sujaya dalang topeng asal
Slangit (kini alm.); Sujana juga dari Slangit atau Rasinah dari
Pekandangan-Indramayu, pada umumnya mereka menceritakan hal yang sama tentang
bagaimana pengalaman mencapai profesi
sebagai dalang topeng. Puasa Senin-Kamis, mati geni, makan hanya nasi ketan
sekepal, tidak makan nasi untuk sekian lamanya, tidur di makam yang
dikeramatkan (buyut) dan sebagainya, adalah
pengorbanan hidup yang harus dilewati dan hal itu nampaknya bagian dari
kehidupan yang “harus” dilakoninya juga. Taham (dalang wayang kulit dari Desa Tambi Kidul-Indramyu)
misalnya, sampai kini telah bertahun-tahun tidak makan nasi. Sengaja
“melaparkan diri” adalah kebiasaan yang umumnya dilakukan seseorang untuk mencapai
predikat dalang dan ini adalah salah satu perjalanan spiritual mereka. Dalam
Islam ada satu keterangan tentang lapar sebagai berikut:
Ini dianjurkan dengan syarat tidak mengganggu ketenangan dan ketenteraman mental. Imam Ja’far Ash-Shadiq
mengatakan, “Seorang mukmin menikmati lapar. Baginya, lapar adalah makanan
hati, kalbu, dan jiwa.”
Lapar menerangi dan mencerahkan jiwa serta membuat jiwa menjadi
ringan, sementara kelewat
banyak makan membuat jiwa jadi tumpul, majal, dan kelelahan serta
menghalang-halanginya naik menuju langit irfan. Di antara amalan ibadah, puasa sangat dipuji dan
dihargai. (Murtadha Muthahhari,
1995:135).
Secara kebetulan saja, bahwa para dalang topeng Cirebon pada umumnya berperawakan kurus-kecil. Apakah
ini juga sebagai akibat atau kebiasaan mereka yang membiasakan diri makan
sedikit dan melaparkan diri? Atau ini adalah jejak wali yang ditanamkan pada
seniman topeng manakala menyebarkan agama Islam pada sekitar abad ke 14-15?
Pada umumnya para dalang topeng juga beragama Islam. Namun demikian salah satu
perjalanan mereka dalam membeli predikat sebagai dalang topeng.
Kalaupun hal tersebut bukan merupakan suatu keharusan namun atas
kesadarannya sendiri dan atas keyakinannya (pada umumnya juga meniru
langkah-langkah yang dilakukan orang tuanya), mereka melaksanakannya dengan
tabah. Jika seseorang yang akan menjadi dalang topeng itu “lulus”, artinya
berhasil melampaui “ujian” meuseuh diri[4], maka secara psikologis hal tersebut
akan menimbulkan kepercayaan dan keyakinan dirinya di atas panggung. Cara
seperti tersebut adalah sebuah perjalanan spiritual yang pada umumnya dilakukan
juga oleh seniman-seniman tradisi lainnya. Dalam hal ini penting juga disimak
tentang perjalanan spritual:
Berkaitan dengan perjalanan spriritual itu; hal penting lainnya adalah
meditasi atau perenungan (muraqabah). Sang penempuh jalan spiritual tidak boleh
mengabaikan dan menafikan meditasi pada tahap manapun sejak awal hingga akhir. Mestilah dipahami bahwa
meditasi memiliki banyak tingkatan dan berbagai macam ragam. Pada tahap-tahap
awal, sang penempuh jalan spiritual harus melakukan satu jenis meditasi dan
pada tahap-tahap akhir jenis meditasi lainnya. Ketika sang penempuh jalan
spiritual beranjak maju ke depan, aka meditasinya bertambah kuat sehingga
kalaupun ini pernah dilakukan oleh
seorang pemula, dia pasti bakal menghentikannya untuk selama-lamanya atau
menjadi gila. Akan tetapi, sesudah berhasil menyelesaikan tahap-tahap awal,
sang arif pun mampu melakukan tahap-tahap meditasi yang lebih tinggi. Pada saat
itu, banyak hal yang semula diperbolehkan baginya menjadi terlarang baginya.
(Murtadha Muthahhari, 1995:79).
Di samping harus menempuh
perjalanan spriritual (cara yang dilakukan mereka berbau mistik) seperti
tersebut di atas, pada umumnya para dalang topeng juga mendapat “pelajaran”
yang cukup keras dari orang tuanya. Mereka seringkali mengalami
siksaan pisik seperti dipukul, ditendang, disiram dengan air panas dan
sebagainya. Sawitri misalnya, menuturkan pengalamannya bahwa kepalanya pernah
disiram air panas oleh ayahnya. Masa belajar memang dianggap sebagai masa yang
penuh dengan cobaan, siksaan, dan
kegetiran. Suatu hal yang mungkin kini tak pernah dilakukan
dalang-dalang topeng muda.
Perjuangan hidup—suka-duka—para dalang topeng memang sangat menarik.
Kita bisa ikut merasakan kegembiraannya akan tetapi juga kegetiran dan
kesengsaraannya. Kenyataan yang mereka alami pada masa lalu terkadang bisa
membuat hati kita trenyuh. Betapa sulitnya hidup sebagai dalang topeng.
Kesulitan dan kegetiran dalam melakoni hidup itu mereka rasakan dengan
tetap setia pada profesi dan tradisinya sebagai dalang topeng, walaupun secara
ekonomis apa yang digelutinya itu tak bisa mengangkat tarap kehidupannya ke
tingkat yang layak. Saya kagum atas kesetiaannya. Ingat-ingatlah misalnya 25
tahuan yang lalu jaman masih jayanya Dasih dan Suji (almh.) dari daerah
Ciluwung-Palimanan, sampai akhir hayatnya mereka hidup serba kekurangan.
Ingat pulalah Dewi dan Sawitri
(almh.) dari losari. Kalau saja mereka
tak setia atas tradisi yang diwariskan orang tuanya, maka kini kita tak
akan bisa lagi melihat lemah-gemulainya topeng Losari. Dua dalang ini lumayan
beruntung. Semasa hidupnya mereka disantuni beberapa orang yang merasa iba.
Rujito (terutama), Endo dan yang lainnya, bergantian memperingan beban
hidupnya, membuatkan sanggarnya termasuk menyekolahkan beberapa cucunya. Beban
hidup di luar panggung dan pujian di atas panggung datang silih berganti. Simak
misalnya salah satu tulisan Sal Murgiyanto tentang dia: Ibu Sawitri, ternyata tidak sendirian. I [sic!] didampingi
oleh kakaknya yanglebih renta, yakni ibu Dewi (70 tahun) yang tampil membawakan
peran berikutnya: Topeng Ratu. Keduanya memang telah lebih separo abad, tetapi
di balik tubuhnya yang kurus lentur itu, ternyata tersimpan tenaga magisnya.
Dengan tubuhnya yang telah keriput, dengan gigi tak satupun sisa, sambil
mengenakan kain dan mongkrong yang menutup tubuhnya kedodoran mirip kimono, ibu
Dewi betul tampil sebagai “dewi”. Karena wujudnya berubah menjadi insan yang
lain di atas pentas. Apalagi setelah topeng Ratu dikenakannya. Dengan
penampilannya yang spektakuler ibu Dewi seolah hendak membuktikan bahwa
kesenian itu bukan masalah keayuan wadag semata. (1993:125).
Hal yang sama juga dialami dalang topeng lainnya. Lihatlah saat
ini, misalnya Sujana, Rasinah dan
lain-lain. Dengan tidak bermaksud untuk merendahkan diri mereka (saya sendiri
adalah murid dan pengagumnya) saya
melihat bahwa dua maestro topeng Cirebon yang kini masih tersisa,
kehidupan (terutama ekonominya) jauh
dari cukup. Seringkali ia mengeluh tentang banyak hal, terutama beban hidup
yang dipikulnya yang selalu tak bisa dan sukar tertanggulangi. Morat-marit
adalah kenyataan sehari-hari yang kini dialaminya. Kebesaran namanya di habitat
pertopengan Cirebon tak sebanding dengan kenyataan hidupnya. Pengorbanan seumur
hidup dalam “mempertahankan” (memproteksi) tradisi topeng tak seimbang dengan
apa yang diterimanya.
Keadaan itu diperparah oleh kenyataan (sebenarnya sudah lama terjadi),
bahwa kini masyarakat yang dulu adalah langganan manggungnya, sudah benar-benar
melupakannya. Ia dianggap sudah “tidak ada”.
Masyarakat yang dulu menjadi tumpuan dan mensubsidi kehidupannya kini
telah meninggalkannya. Jika dalam setahun ada yang berkenan menanggapnya, hal
tersebut adalah sebuah keberuntungan.
Kehidupan topeng kini memang tengah terpuruk. Apabila kita “Berbicara
mengenai kelestarian, kelangsungan kehidupan seni topeng ditentukan oleh dua
hal utama, yakni pewarisan kesenimanannya dan dukungan masyarakatnya. Seniman
yang bisa mewarisi kemampuan seninya (dari satu generasi ke generasi
berikutnya), dan masyarakat yang bisa memberi jaminan pada kehidupan
senimannya.” (Endo Suanda, 1995: 2). Kini jika ada tanggapan topeng mereka
lebih memilih dalang-dalang muda. Pengalaman yang diungkapkan Endo Suanda boleh jadi benar:
Yang sekarang makin berkurang
itu adalah suporter generasi setengah-tua (generasi muda
kemarin). Ketika ada pertunjukan topeng wanita tua yang sangat baik menarinya, kemudian ada salah seorang
penonton yang melihat dan terus kembali lagi sambil mengeluh: “Wah, sayang
penarinya sudah tua. Nggak enak dipandang!” Komentar itu ke luar dari seorang
laki-laki umur 40-tahunan. Padahal orang seumur ialah yang umumnya penanggap
topeng. (1995:3).Nasib para dalang tua memang tragis! “Kasihan, mereka sudah
terlalu lama hidup dalam kemiskinan”, demikian bisik Rujito suatu saat kepada
saya.
II
Saya akan menceritakan salah satu maestro
topeng Cirebon dari dua orang yang terakhir saya katakan di atas, yakni dalang
topeng Rasinah. Saya mempunyai pengalaman
yang cukup menarik tatkala
pertunjukan di Jepang pada
sekitar bulan November 1999. Pada saat itu Rasinah Grup (demikian Endo Suanda menamakan
rombongan kami) diundang Japan Foundation untuk berpentas bersama Miroto Grup
dari Yogyakarta. Rombongan Rasinah Grup
dipimpin oleh Endo Suanda, berjumlah 11 orang. Sedangkan Miroto Grup
berjumlah lima orang.
Selama 20 hari kami berada di Jepang untuk melaksanakan pertunjukan dan work shop di
beberapa kota: Tokyo, Osaka, Kyoto, Fukuoka dan Okinawa. Pengalaman ini sengaja
dikemukakan, bukan semata-mata karena pentasnya di Jepang, namun karena ada
pengalaman menarik yang bisa dipetik untuk dijadikan bahan renungan. Terutama
yang berkaitan dengan sikap kesenimanan seorang Rasinah.
Beberapa tahun terakhir ini Rasinah masih tetap menjadi perhatian banyak
orang. Dalam usianya yang semakin tua (kini 71) Daya tariknya di atas pentas sebagai dalang topeng selalu
membuat decak kagum banyak orang. Rasinah memang sosok penari topeng yang
mempunyai daya hipnotik luar biasa bagi
penontonnya. Kompas tanggal 11 Mei 2000 menulis sebagai berikut: . . .“dia amat
perkasa. Ia bisa mengeluarkan seluruh energinya sehingga memikat penontonnya.
Tubuhnya yang penuh getaran-getaran batin, berdiri di atas dua kaki kecil yang
seolah menancap kokoh di atas lantai pentas. Sesekali jari-jari tangannya yang
lembut bergetar mengikuti irama irama jiwanya. Irama gamelan”.
Selama saya mendampingi ia sejak pertemuan pertama sekitar akhir tahun
1994 (akan saya ceritakan pada bagian lain tulisan ini), banyak sekali hal-hal
yang menarik sebagai bahan pembicaraan. Pengalaman yang menarik akhir-akhir ini
adalah saat saya bersamanya ke Jepang.
Entah bagaimana perasaan yang menghinggapi dirinya tatkala ia dipastikan
akan berangkat ke Jepang. Bisa jadi bak mimpi di siang bolong ketika rombongan
topeng Rasinah itu akan berpentas dienam kota di Jepang. Satu hal yang tak
terbayangkan sebelumnya bahwa ia akan berpentas sedemikian jauh.
Saya yakin bahwa perasaannya berbeda ketika ia pertama kali bertemu
dengan saya di akhir tahun 1994. Kala itu saya meminta dan memaksanya untuk
menari lagi serta mengaku telah sekitar
lima belas tahun berhenti nopeng. Mendengar kepastian akan berpentas di Jepang,
boleh jadi perasaannya amat gembira dan bangga. Rasa gembira itu amatlah pantas
baginya karena kesempatan ke luar negeri itu amat langka bagi sebuah grup
topeng Cirebon. Rasa bangga bisa jadi menyelimuti dirinya karena ia merasa kembali “hidup”, kembali
mendapat pengakuan banyak orang, bahwa ia masih ada yang memperhatikan dan
masih pantas mempertontonkan keterampilannya. Jika saja benar perasaannya
demikian, ini mudah dipahami sebab sekian puluh tahun yang lalu ia hanya
seorang Rasinah, nenek tua-renta dan tak berdaya. Demikian kenyataan sebelum ia
saya temukan dan mengembalikan ke masa lalunya, yakni masa kejayaannya sebagai
dalang topeng di daerah Pekandangan-Indramayu.
Pertunjukan di Jepang memenuhi undangan Japan Foundation dipimpin Endo
Suanda, grup topengnya sengaja dinamai Topeng Rasinah. Pertunjukan itu satu
paket dengan Grup Miroto dari Yogyakarta yang mempertontonkan tari-tarian
kontemporer. Selama di sana banyak pengalaman yang amat berharga bagi kami.
Banyak hal-hal yang menarik selama berpentas di beberapa kota (Tokyo, Osaka,
Fukuoka, Kyoto, dan Okinawa). Saya tak mungkin menceritakan seluruh pengalaman
kala di Jepang dan hanya akan bercerita tentang beberapa hal yang amat menarik
selama bersama Rasinah.
Seorang Rasinah mengundang decak kagum penontonnya di Jepang. Pada
umumnya merekan tak membayangkan bahwa nenek setua itu masih bisa menari dengan
amat perkasa, energik dan eksplosif. Di setiap kota di mana kami mengadakan
pertunjukan selalu mendapat aplus yang baik. Banyak di antara penonton yang
menangis haru dan hal ini dituturkan oleh Yui-san dan Keiko-san, orang yang
mengurus pertunjukan kami.
Kami tinggal kurang lebih selama 20 hari dan diprogramkan untuk delapan
kali pertunjukan, termasuk work shop. Lima kota yang kami kunjungi: Tokyo,
Osaka, Kyoto Fukuoka dan Okinawa. Pada umumnya setiap pertunjukan berjalan
lancar, namun menjelang akhir, kala kami akan menuju Fukuoka dari Osaka,
Rasinah mulai merasa sakit demam. Boleh jadi karena cuaca yang dingin,
persisnya seperti cuaca di Lembang-Bandung (kala itu menjelang musim gugur)
yang bagi orang Indramayu pasti kurang bersahabat.
Sampai di Fukuoka, Rasinah menggigil, panas-dingin dan tergeletak di kamar hotel sampai akhirnya
dibawa ke Rumah Sakit dan harus diinfus.
Kejadian ini hanya beberapa jam sebelum pertunjukan dimulai. Sudah barang tentu
kami amat gelisah. Perasaan tak menentu, semua panik. Tmbul pikiran jelek,
pertunjukan akan gagal! Kami jadi
kalang-kabut. Sembari menunggu kabar dari rumah sakit, Endo berusaha
menyelamatkan pertunjukan. Ia sendiri
bermaksud untuk menarikan satu dua topeng menggantikan Rasinah. Sebagian tarian
lainnya ditarikan Nur Anani. Persoalan muncul, sebab topeng yang bisa ditarikan
berbeda gayanya dengan Indramayu. Di antara kami hanya bisa menarikan topeng
gaya Slangit, Nur Anani khusus gaya Losari dan tarian yang sudah lancar
hanyalah Topeng Tumenggung. Pastilah pengendang akan sulit tanpa latihan
sebelumnya, sedangkan waktu latihan tak cukup dan tak memungkinkan tarian bisa
lancar. Kami jadi benar-benar salah tingkah. Tak tahu apa yang harus dilakukan.
Demikian juga panitia, sama paniknya. Akhirnya kami hanya berharap dan berdo’a
kepada Tuhan: berikanlah berkah kepada
kami ya Allah dan semoga pertunjukan
bisa terlaksana dengan lancar dan baik.
Keajaiban tiba-tiba muncul. Kurang-lebih dua jam sebelum pertunjukan
dimulai, telepon di gedung pertunjukan berdering. Reiko Yui-San (panggilannya
Yui) memberitahukan bahwa suhu badan Rasinah telah normal. Dokter membolehkan ia menari jika selama satu jam
suhu badannya tetap konstan. Tentu saja semua gembira, hampir saja kami
bersorak-sorai. Alhamdulillah, Tuhan telah memberikan karunian-Nya.
Selama satu jam suhu badan Rasinah tetap normal. Berarti kondisi tubuhnya telah pulih. Ia kemudian
langsung diboyong Yui-San ke gedung pertunjukan.Dokter membolehkannya menari.
Kami semua tak kuasa menahan rasa kegembiraan sampai-sampai ada kawan yang
berjingkrak-jinkrak kegirangan. Maruti (penari Miroto Grup) memeluknya,
demikian juga yang lainnya. Namun dalam suasana kegembiraan itu rasa waswas
tetap menghinggapi kami. Mampukah seseorang yang baru saja dinyatakan sembuh
dari sakit menari sedemikian beratnya?
(Dalam hal ini perlu diketahui bahwa Rasinah menarikan tiga topeng: Panji,
Pamindo dan Klana). Perasaan itu tetap menghinggapi kami, walaupun ia sendiri
menyatakan kesanggupannya dengan lantang. Saya masih tetap setengah yakin, masih
tetap khawatir. Bagaimana kalau ia tiba-tiba
roboh di atas pentas. Saya lari ke sudut panggung yang agak gelap dan
sepi. Kemudian konsentrasi dan berdo’a kepada Tuhan: “Ya Allah semoga kami diberi kekuatan
lahir-batin dan diselamatkan dari hal-hal yang tidak diinginkan. Ya Allah
semoga Rasinah diberi kekuatan dan ketabahan, semoga pertunjukan kami berjalan
tanpa halangan.” Selepas berdo’a saya menjadi lebih tenang, terlebih-lebih ketika ingat ucapan kaum sufi bahwa: Obatmu
adalah dalam dirimu, dan engkau tidak mengamatinya. Panyakitmu adalah dari
dirimu, dan engkau tidak mencatatnya. (Idries Shah, 1985:278).
Saatnya pertunjukan dimulai. Grup Miroto, seperti biasanya mengawali
pertunjukan. Mereka melaksanakannya dengan baik. Bagian kedua giliran Rasinah
Grup. Kami masuk panggung dengan
tenang dan penuh percaya diri. Seolah-olah tak ada kejadian apa-apa.
Pertunjukan dimulai dengan tetalu yang singkat, kemudian Topeng
Panji. Rasinah berdiri tegak, topeng
Panji yang dikemas menjadi hanya sekitar
11 menit[5] berhasil ditampilkannya dengan baik. Demikian pula topeng Pamindo (kurang-lebih 15 menit), juga
berhasil ditampilkannya dengan amat energik. Topeng Tumenggung ditarikan Nur
Anani dan selepas itu bodoran oleh Taham sebagai selingan sebelum topeng Klana
ditampilkan. Penampilan terakhir adalah topeng Klana. Ditarikan Rasinah dengan
gagah perkasa. Gong demi gong dalam lagu Gonjing pengiring topeng itu
dilaluinya dengan santai. Langkahnya
kelihatan ringan, tenaganya tetap kuat dan tak sedikitpun ia menampakkan
kelelahan. Tak sedikitpun ia menunjukkan dirinya sebagai orang yang tengah
sakit. Rasinah malam itu adalah seorang nenek yang benar-benar luar biasa.
Akhirnya bunyi gong terakhir lagu itu berbunyi, Rasinah membungkuk
memberi hormat kepada
penonton tanda pertunjukan telah
usai. Penonton pun berdiri dan bertepuk tangan cukup panjang. Tuhan mengabulkan
do’a kami. Pertunjukan berjalan dengan baik. “Rasinah adalah nenek
ajaib,” bisik Yui-San. Bisa jadi benar.
Sebab Rasinah yang sehari-harinya adalah seorang nenek biasa, tua, dan
kebanyakan orang tak menyangka bisa menari segesit itu, namun manakala tampil
di atas pentas, kenenekkannya hilang. Ia menjelma menjadi seorang yang amat
perkasa, dan energik. Di atas pentas ia menjelma menjadi seorang pengembara,
seperti seekor badak bertanduk. Kepada penontonya, ia memperlihatkan keindahan
seni yang lain, keayuan yang bukan sebatas wadag, akan tetapi sebuah inner
beauty. Rasinah bak berumur 17 tahun. Dalam ketuaannya ia masih sanggup menarikan
topeng-topeng itu berjam-jam lamanya. Ia ibarat seekor ular membuang kulitnya
yang telah usang.
Pengalaman di Jepang bersama
Rasinah bercampur-baur, di satu sisi penuh pengalaman yang menggembirakan, sisi
lainnya adalah pengalaman yang mengharukan.
Suatu hal yang penting dari pengalaman itu tiada lain adalah sebuah pelajaran
berharga yang pada dasarnya lebih menyadarkan kami akan arti profesionalisme
dan sikap kesenimanannya. Rasinah adalah contoh konkrit seorang penari yang
berdedikasi, tabah dan penuh tanggung jawab. Topeng adalah panggilan jiwa yang
bisa mengobati dirinya.
Dalam suatu obrolan dengannya, saya bertanya: Apa rahasia yang
menjadikan Mimi (sebutan lain untuk Ibu atau Emak di daerah Cirebon dan
sekitarnya) bisa menari dengan baik
dalam keadaan sehat bahkan dalam keadaan sakit sekalipun? Jawabnya hanya satu
kata, “pasrah”. Suatu jawaban yang amat singkat, akan tetapi potensial untuk
direnungkan lebih dalam. Kata pasrah itu sendiri bisa mengundang banyak
interpretasi. Bisa jadi itulah pegangannya sebagai dalang topeng. Apapun yang
akan dia terima; apapun yang akan dikatakan orang, baik atau jelek; apapun yang
akan terjadi; apa pula yang akan menimpanya, semua diserahkan kepada Yang Maha
Kuasa. Pasrah! Sebuah kata yang bermakna amat dalam.
III
Seperti juga dalang-dalang topeng umumnya,
Rasinah berasal dari keluarga seniman. Ia adalah dalang topeng turunan.
Buyut-neneknya juga dalang topeng. Ayahnya bernama Lastra (dari daerah
Mayahan-Indramayu) adalah dalang wayang kulit
dan juga dalang topeng. Dari ayahnya inilah ia belajar topeng. Ibunya
sendiri, Sarminah (dari daerah Pekandangan-Indramayu), adalah petani. Dari enam
bersaudara hanya bertiga yang menjadi
dalang topeng: Rasinah, Karniti dan Murita (lihat silsilah). Semua saudaranya
telah meninggal.
Seperti halnya dalang-dalang topeng lainnya di Cirebon, Rasinah mulai
belajar nopeng sejak umur sembilan
tahun. Pada usia sedini itu ia telah menguasai seluruh topeng. Pada umur
13 tahun ia mulai dibawa bebarang[6] dan pada usia inilah ia mulai mendapat
panggungan.
Pada umur 14 tahun ayahnya meninggal dunia. Konon ditembak Belanda.
Tahun 40-an ia menikah dengan Tamar (dalang wayang kulit), pria asal Tugu yang
bermukim di daerah Cipunagara-Subang. Dari perkawinannya lahir dua anak (Muncar
dan Saimah). Kedua-duanya meninggal dunia saat masih kecil. Pada sekitar tahun
50-an, ia menikah lagi dengan seniman topeng/wayang bernama Amat. Dari
perkawinannya dengan Pak Amat ia dikaruniai empat anak: Warno, Daimah, Diding dan Wacih (kini menjadi TKI di
Malaysia). Tiga anaknya telah lama meninggal, dan yang masih hidup adalah Wacih
yang kemudian memberinya empat orang cucu. Salah satu cucunya, yakni Aerli
(panggilannya Eli) kini tengah berusaha mewarisi bakat neneknya. Satu-dua
topeng kini mulai dikuasainya. Pak Amat yang kemudian menjadi pengendangnya,
telah meninggal (1994).
Berbeda dengan dalang topeng lainnya, Rasinah tidak saja hanya bisa
menarikan topeng, akan tetapi juga jenis tari-tari lainnya. Pada sekitar tahun
1959, Bupati Indramayu (Dasuki) memanggil guru tari dari Sumedang, R. Ono
Lesmana Kartadikusumah untuk mengajar anak-anaknya (Mami dan Nenong). Saat
inilah ia belajar dan menguasai beberapa tarian dari R. Ono Lesmana, antara
lain: Tari Jayengrana, Tari Samba, Tari Gatotkaca, Tari Aradea, Tari Adipati
Karna, Tari Jakasona dan lain-lain. Ia juga bisa menarikan tari-tarian karya
R.Tjetje Somantri seperti Tari Anjasmara, Tari Sekar Putri dan lain-lain. Pak
Amat pulalah yang mengendangi tari-tarian tersebut, dan karena kepiawaiannya
memainkan kendang, ia kemudian diangkat menjadi pegawai di lingkungan Pemda
Kabupaten Indramayu. Pada sekitar tahun 60-an, Rasinah juga aktif melatih tari
di beberapa tempat dan sekolah: Panti Arjo, SD, SMEA, SMP 1 dan 2, SPG dan
lain-lain.
Setelah masa tuanya tiba, panggungan
topeng pun mulai berkurang. Ia kemudian memutuskan untuk berhenti menari. Ia
sendiri menganggap sudah tak pantas lagi untuk menari. Rasa malu menyelimuti
dirinya jika dalam ketuaannya masih terus menari. Karena panggungan topeng
sudah tak diterimanya lagi, ia kemudian mendirikan grup sandiwara “Harem Jaya” sekitar tahun 1989 dan bubar
setelah suaminya, Amat, meninggal.
Masa kesenimanannya berakhir sudah. Tak terpikirkan olehnya akan kembali
“hidup” sebagai dalang topeng. Masa muda, yakni masa yang dihabiskannya di
panggung, menjadi kenangan manis dan sekaligus juga pahit. Rasinah, dilupakan
orang dan ditinggalkan penggemarnya. Di masa tuanya, tak seorangpun melirik,
apalagi memperhatikan kehidupannya. Ia benar-benar hanya sebagai Rasinah, nenek
tua yang tak berdaya.
IV
Dalam usianya yang yang sudah sangat sepuh, Rasinah masih tetap
mempesona. Ia mengagumkan namun sekaligus mengibakan. Di daerah asalnya, selama
hampir 20 tahun ia hampir tak pernah memperoleh perhatian dalam kegiatan
berkesenian. Jika saja Toto Amsar dan Endo Suanda . . . tidak meraihnya, sangat
boleh jadi namanya sudah terkubur bersama masa tuanya yang sepi. (Kompas, 11
Mei, 2000).
Saya bertemu pertama kali pada bulan Nopember 1994. Kala itu tengah
mengadakan penelitian bersama Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, mencari benang
merah antara topeng Betawi dan topeng
Cirebon. Nama Rasinah saya dapatkan dari seorang dalang topeng muda asal Tambi,
Wangi. Ia bercerita bahwa Rasinah adalah dalang yang baik. Keterangan tentang
Rasinah saya dapatkan juga dari salah seorang staf Seksi Kebudayaan (Depdikbud) Kabupaten
Indramayu. Saya mencari sesuai dengan alamat yang diberikan mereka.
Ketika saya datang ke rumahnya, ia agak kaget, bahkan setengah takut.[7]
Entah apa yang ada dibenaknya ketika itu, namun ketika saya mengutarakan maksud
dan tujuan kedatangan, ia baru merasa tenang. Obrolan pun dimulai. Saya
bertanya banyak tentang permasalahan topeng dan juga tentang pengalaman dia
sebagai dalang topeng. Kisah perjalanannya sebagai dalang topeng amat menarik,
sampai akhirnya saya menawarinya agar mau menari lagi.
Tawaran itu secara spontan di tolak mentah-mentah. “Alasannya, pertama
karena ia sudah tak punya gigi, tak mungkin bisa untuk menggigit kedok. Kedua,
nayaga yang dulu mengiringinya kini tak tersisa satu pun. Semuanya telah
meninggal dunia. Mana mungkin bisa lagi menari. Ketiga, saya ini sudah tua,
sudah tak pantas lagi menari. Malu!”, jawabnya dengan tegas. Suatu alasan yang sangat masuk akal. Namun saya tak
kehabisan akal. Kedok yang selalu saya bawa di kantong (kala itu saya bawa
kedok Rumyang), kemudian diperlihatkan dan disuruh dicobanya. Dengan
spontan ia ambil dan terus dikenakannya sambil
memperlihatkan beberapa gerakan. Satu-dua gerakan diperagakan. Saya mulai
terpesona, beberapa gerakan yang diperagakannya menguatkan keyakinan saya akan
cerita kawan-kawan tadi, bahwa ia benar dalang topeng yang baik. Saya terus
membujuknya, setengah merengek, untuk
mau lagi menari, namun ia tetap pada
pendiriannya. Ketika saya memberi jalan ke luar atas alasan yang
dikemukakannya, ia mulai berpikir. Saya katakan, “bahwa kedok masih bisa
digigit. Nayaga bisa dicoba dengan grup topeng Wangi dari Tambi.” Pertanyaan
terakhir yang saya ajukan kala itu: Berapa Mimi mau dibayar? Ia lama terdiam,
sampai akhirnya menjawab lirih: “Kudu satus mah.” Ia minta dibayar seratus ribu
rupiah. Kontan saja saya menyanggupinya. Besoknya ia datang di tambi, di
sanggar Mulya Bhakti, pimpinan Taham. Latihan pun dimulai.
Pertama kali latihan, saya amat kaget karena jarang sekali seorang
dalang topeng yang berbeda grup bisa dengan lancar diiringi oleh nayaga yang
berbeda grupnya (terutama oleh pengendang) yang juga berlainan grup. Kala itu
Rasinah dan nayaga topeng Tambi kelihatan seperti layaknya sebuah grup yang
sudah lama terbina, walaupun memang masih banyak gerakan-gerakan Rasinah yang
belum “terbeli” [8] oleh pengendangnya.
Kelancaran memadukan Rasinah dengan nayaga Tambi sangat mungkin
disebabkan oleh banyak hal. Selain karena mereka adalah nayaga topeng yang
sudah amat terlatih yang selalu manggung bersama dalang topeng Wangi, juga
karena pengendangnya, Tarip, adalah
salah satu pengendang
jempolan topeng Dermayon. Di samping itu, struktur dan pola-pola gerak topeng
di Indramayu pada umumnya mempunyai kesamaan satu sama lainnya. Rasinah sendiri adalah dalang topeng yang
serba bisa. Ia tahu dan bisa menabuh seluruh lagu-lagu topeng, dan pandai
juga menabuh kendang. Jika ada
artikulasi kendang yang terasa belum sesuai, ia tak segan-segan memberinya
contoh. Rasa iramanya amat kuat,
sehingga ia bisa dengan enak, dan bisa semaunya menurunkan-menaikkan irama
tariannya. Jika ia sudah menari, tariannya terasa bak ombak laut. Sesekali muncul dengan gerakan yang menghentak-hentak (eksplosif), sesekali
muncul dengan lirih. Gerakannya senantiasa berkelindan dengan musik
pengiringnya.
Suatu hal yang paling sulit dalam menarikan topeng Cirebon adalah gawe
jogedan (membuat tarian), demikian kata Rasinah. Gawe jogedan, sama artinya
dengan improvisasi, yakni menarikan vokabuler gerak topeng seingatnya, apa
maunya. Latihan sehari itu tak terasa. Rasinah seperti berusaha melampiaskan
kerinduannya akan topeng. Ia menari sepuasnya. Topeng Pamindo saja ditarikannya
lebih dari satu jam dan tak sedikitpun ia memperlihatkan kelelahan. Kekuatan
fisiknya sungguh menakjubkan untuk usia setua dia. Kekuatan fisik Rasinah
memang luar biasa.
Selesai latihan, saya tertegun untuk beberapa saat. Saya amat terharu
melihatnya. Tak terasa ada yang merembes dari mata. Kemudian saya berbisik
kepada Mama (Bapak) Taham: “Ma, saya menemukan harta karun.”
Awal pertemuan dan latihan itu memang amat mengesankan. Dari sinilah
sebenarnya Rasinah merasa “hidup” kembali. Ia mulai merasakan ada sesuatu yang
membangkitkan dirinya. Ada orang yang memperhatikannya kembali. Boleh jadi
suara gamelan yang senantiasa ditimpali dengan nyanyian nayaga ala topeng
Dermayon itulah yang menjadikan ia berada di masa lalunya. Rasa sakitnya
hilang. Dunia topeng yang yang sudah
dilupakannya[9] dan hanya menjadi kenangan indah, akhirnya kembali menjadi
dunianya sendiri dan mulai menyemangati serta mengobati hidupnya dari
sakit-sakitan[10] dan kesepian.
Kepadanya saya janjikan untuk terus
mencari kesempatan pentas di lain tempat. Sejak itu, saya, Endo Suanda,
dan Wangi Indriya, secara bergantian mempromosikan dan mempergelarkan topeng
Rasinah di berbagai tempat. Beberapa
kali pentas di Bandung (pertama STSI 1995), Jakarta (TIM) dan dalam perayaan
pernikahan keluarga Arifin Panigoro, Yogyakarta, Surakarta, Bali dan
tempat-tempat lainnya. Kini Rasinah telah benar-benar “hidup” dan kembali ke
habitatnya. Topeng kembali jadi sumber penghidupan dan membantu meringankan
beban ekonominya.[11]
Persoalan penting yang selalu menjadi kekhawatiran saya adalah,
bagaimana agar mata rantai kehidupan topeng Rasinah itu tetap mengait dan
berkelanjutan. Di Indramayu, Rasinah adalah satu-satunya dalang topeng tua
terbaik saat ini. Ia adalah maestro yang tersisa. Sudah barang tentu
kesinambungannya perlu diusahakan. Hal ini dipandang penting, mengingat bahwa kepunahan
topeng itu secara umum seiring dengan meninggalnya seniman pelakunya.
Perhatikan misalnya kepunahan topeng Palimanan, Kreo, Gujeg dan lain-lain.
Pada saat itu tak satupun anak-cucunya yang mau mewarisi keahlian
ibu/neneknya.[12] Wacih, anaknya yang bungsu, walaupun dikatakannya bisa
menarikan satu-dua topeng, namun tampaknya tak terlalu interest. Ia memilih
menjadi pekerja harian atas suruhan orang lain (kini jadi TKI).
Saya hubungi Saini KM, dan meminta dibelikan tape recorder untuknya.
Saat itulah cucunya Aerli (Eli) mulai diajari nopeng. Hidupnya yang penuh
cobaan dan penderitaan, mengundang iba banyak orang. Suatu saat rumah dan
sanggarnya tiba-tiba runtuh. Ia tak
punya tempat berlindung. Untuk membangunnya kembali memerlukan dana yang besar.
Namun atas prakarsa Endo Suanda, sejumlah dana berhasil dihimpun dari berbagai
donatur baik dari dalam maupun luar negeri. Kini rumah dan sanggarnya itu
kembali berdiri kokoh dan ia mulai hidup agak tenang. Gamelanya mulai lagi
berbunyi. Anak-anak mulai berdatangan, belajar nopeng. Topeng Rasinah kembali
berdenyut di tempatnya, Desa Pekandangan-Indramayu.***
Pasirlayung, 5 Agustus 2000
--------------------------------------
[1]Kata topeng
di daerah pantai Utara Jawa Barat, khususnya di daerah Cirebon mempunyai
konotasi tertentu. Artinya tidak menunjukkan benda sebagai penutup muka, akan
tetapi bisa berarti penari atau menunjukkan arti sebagai pertunjukan tari. Di
daerah Subang, Karawang, Bekasi, Betawi sampai ke daerah Banten, banyak
pertunjukan yang tidak memakai topeng disebut juga topeng, misalnya Topeng
Ubrug, Topeng Banjet dan lain-lain. Penutup muka itu sendiri di Cirebon disebut
kedok. Jika kata topeng itu dihubungkan dengan nama orang, maka artinya sama
dengan penari. Topeng Rasinah, topeng Jana, Topeng Sawitri dan lain-lain.
[2] Perhatikan dalam panggungan topeng baik
pada hajatan perkawinan, khitanan atau dalam upacara Ngunjung dan sebagainya,
seringkali terlihat seseorang meminta diberkati
dalang topeng. Perhatikan pula misalnya dalam upacara Ngunjung di daerah
Pangkalan-Cirebon (antara bulan Mei) banyak sekali masyarakat yang meminta
diberkati oleh dalang topeng. Di daerah ini dalang topeng dianggap sebagai Buyut
atau leluhur mereka.
[3]Dalam pertunjukan topeng Cirebon, penari
topeng disebut dalang topeng, yakni penari utama yang menarikan kelima kedok:
Panji, Pamindo, Rumyang, Tumenggung dan Klana. Sedangkan penari lainnya yang
menarikan kedok bodor tak lazim disebut dalang topeng. Kata dalang juga sering
dipakai dalam kesenian lainnya yakni untuk menunjukkan pelaku utamanya,
misalnya dalang berokan, dalang terbang, dalang sintren, dalang genjrimg dan
sebagainya.
[4]Meuseuh
diri atau dalam bahasa Sunda disebut juga dengan ngisat salira, adalah
upaya pencerahan jiwa. Seseorang yang tengah meuseuh diri bisa dibandingkan
dengan orang yang sedang membangun tangki air di rumahnya tetapi sudah lama
tidak digunakan. Sementara itu, berbagai kotoran dan noda telah mengendap di
dasar tangki itu, sekalipun air tampak jernih dari atas. Dia mengira bahwa air
itu bersih. Namun, ketika dia menyelam ke dalam tangki atau mencuci sesuatu di
dalamnya, gumpalan kotor dan keruh naik ke permukaan, dan dia mengetahui bahwa
air itu kotor. Meusueh diri atau meditasi adalah sebuah perjalanan spiritual
yang dilukiskan sebagai batu fondasi yang menjadi pijakan bagi bangunan zikir
dan mengingat Allah. Ini sama pentingnya dengan resep diet bagi seorang pasien,
yang tanpa itu obat-obatan tidak bakal efektif atau bahkan menimbulkan efek
yang bertolak belakang. (Periksa
Murthada Muthahhari, 1995:127).
[5] Dalam pertunjukan yang waktunya panjang,
topeng-topeng tersebut bisa ditarikan dengan sangat lama. Topeng Panji bisa
hampir satu jam lamanya, demikian juga Topeng Pamindo dan topeng-topeng
lainnya. Dalam pertunjukan topeng dinaan, waktunya sehari suntuk biasanya mulai
dari sekitar pukul 09-00 s/d 16.00. Pertunjukan di Jepang kami edit menjadi
hanya kurang-lebih satu jam.
[6] Bebarang artinya ngamen. Dalam khasanah
topeng Cirebon, bebarang adalah salah satu bentuk pertunjukan lama yang kini
telah ditinggalkan. Kecuali dalang topeng dari daerah Sumber (Ciledug), Tengwi
namanya, kini masih melakukannya. Ia bebarang ke daerah Ciawi, Luragung, Ciwaru dan daerah-daerah
lainnya di Kabupaten Kuningan. Bebarang adalah pertunjukan keliling yang
dilakukan manakala musim paceklik tiba.
Mereka berkeliling dari satu desa ke desa lainnya. Berhari-hari lamanya.
Rombongan topeng ngamen biasanya berjumlah sekitar enam-tujuh orang.
Dalam dunia pertopengan di Cirebon, bebarang mempunyai arti yang sangat
penting. Bagi para senimannya, bebarang tidak semata-mata hanya untuk mencari nafkah, akan tetapi yang
terutama adalah sebagai ajang pelajaran dan latihan bagi calon dalang topeng.
Dari kegiatan inilah anak-cucu pewaris topeng itu ditempa keterampilan dan
keberaniannya.
Dari perjalanan wong beberang lahir genra tari baru di Jawa Barat. Tari
itu pertama lahirnya disebut Ibing Patokan. Kini tarian tersebut terkenal
dengan nama Tari Keurseus, yakni tari hasil “perkawinan” antara Tayuban
dan topeng Cirebon.
[7] Kala itu ia agak takut karena saya
berambut gondrong. Ia baru terus terang setelah lima tahun kemudian. Saya
dikira orang PKI yang ingin menculiknya. Oleh tetangganya malah ia
diwanti-wanti agar waspada.
[8] Mereka bilang beli ketuku. Artinya belum
pas. Dalam topeng Cirebon, antara penari dan pengendang seperti orang jualan.
Ada pedagang dan ada pembeli. Yang menari itulah pedagang dan pengendang adalah
pembelinya. Satu sama lain harus mempunyai kecocokan, sehingga apabila
“transaksi” itu berjalan seiring maka kedua belah pihak akan merasakan kepuasan
yang sama. Dalam topeng Cirebon pengendang diwanti-wanti: aja ngelancangi.
Artinya, pengendangharus tetap mengikuti gerakan-gerakan penari dan tidak
mendahuluinya.
[9] Di awal pertemuannya dengan saya, ia
bertutur bahwa sudah sekitar 15 tahun tak lagi menari. Sejak itu badannya
merasa lebih sering sakit-sakitan.
[10] Salah satu matanya yang tidak bisa
melihat seringkali menjadi beban
hidupnya. Suatu saat pernah terjadi pembengkakan dan Wangi membawanya ke Rumah
Sakit. Beberapa kali saya membawanya ke dokter mata di Bandung. Selanjutnya
dioprasi di Rumah Sakit Cicendo.
[11] Sehari-harinya ia hanya mengandalkan
biaya hidup dari pensiunan suaminya, ditambah dari hasil mengasuh anak
tetangga. Sudah tentu jauh dari cukup, apalagi ia juga dibebani harus ikut
menghidupi cucu-cucunya.
[12] Di dalam tradisi topeng dan juga seni
tradisi lainnya, keluarga adalah penyangga utama kelangsungannya. Dalam sebuah
catatannya, Endo mengatakan bahwa tendensi endogamus ini barangkali terutama
bukan untuk wealth share (agar kekayaan tidak pindah ke keluarga lain, seperti
pendekatan teori sosial-ekonomi), tapi lebih kepada alasan blood share (atau
pewarisan spiritual) dan profesional share (yang terakhir ini mungkin juga
berhubungan dengan pertimbangan ekonomi). Ada semacam kepercayaan, keyakinan,
bahwa topeng (seperti halnya seniman wayang dan gamelannya) hanya akan bisa
dibawakan secara sempurna oleh seniman turunan.
Pewarisan topeng Cirebon pada umumnya berjalan
di lingkungan keluarga, dari ayah/ibu ke anak-cucu dan keluarga seniman serta
mereka yang juga ikut hidup dari panggungan. Dalam hal ini mudah dipahami,
sebab lingkungan keluargalah yang punya kesempatan belajar dalam waktu yang tak
terbatas. Keluarga adalah jembatan yang paling menentukan kelangsungan
tradisinya.
sumber: Klik teng riki jeh...
Comments
Post a Comment