Video: Sujana Arja, Maestro Topeng Cirebon Gaya Slangit


Tari Topeng Klana Cirebon - Alm. Sudjana Ardja (1982): Youtube



Liputan6.com, Cirebon: Setiap daerah memiliki kesenian rakyat tersendiri. Dan setiap kesenian tradisional akan melahirkan seorang maestro yang akan mengawal kelanjutan kesenian tradisional itu. Pada akhirnya, nama sang maestro itu akan melekat erat dengan kesenian yang dikawalnya. Ini seperti yang terjadi di kesenian Topeng Cirebon. Kesenian ini telah melahirkan seorang maestro. Sujana Arja, namanya. Hingga di usianya yang 73 tahun, Sujana masih menari dan mengawal Topeng Cirebon pada pakem yang semestinya.

Sujana Arja lahir di Desa Slangit di kawasan Klangenan, Cirebon, Jawa Barat, dari seorang keluarga seniman. Ayah ibunya, Arja dan Wuryati adalah penari topeng legendaris di zamannya. Karena itu, Sujana dan delapan saudaranya yang lain terbiasa dengan ritmis dan tetabuhan dinamis tari topeng.

Sujana bersama delapan saudara kandungnya memang mendapat warisan bakat dari kedua orang tuanya. Tapi, setelah keenam saudaranya meninggal, tinggal Sujana dan adik bungsunya, Keni Arja yang masih setia mempertahankan Topeng Cirebon versi Slangit agar tak punah dari desanya. Kakak-beradik ini bukan hanya menunggu panggilan berpentas dan mengamen dari kampung ke kampung atau bebarang. Tapi, juga mereka menjadi duta kesenian yang mewakili Indonesia ke berbagai negara.

Adalah Sujana sosok penari yang paham benar tentang makna filosofi topeng yang diperankannya. Tari Topeng Cirebon memiliki lima jenis yang masing masing menggambarkan tentang fase kehidupan manusia semasa hidupnya. Panji melambangkan kelahiran seorang manusia ke dunia. Samba melambangkan bayi yang telah beranjak dewasa. Rumyang melambangkan pernikahan yang ditujukan untuk menghasilkan keturunan yang baik. Tumenggung melambangkan kewajiban seseorang yang menikah untuk bekerja sebagai bekal bagi keluarga. Terakhir, Kelana adalah kontrol yang harus dimiliki orang itu agar tidak sombong dalam menghadapi hidup.

Di usia senjanya, Sujana memang masih meluangkan seluruh waktu, pikiran, dan tenaganya untuk tari topeng. Sesekali dirinya menerima undangan dari warga desa yang sedang mengadakan hajatan besar. Di saat saat itulah Sujana menunjukkan kepiawaiannya sebagai seorang penari topeng. Berbeda dibanding tahun 60-an ketika sepi undangan main, Sujana dan rombongannya memilih mengamen dari kampung ke kampung sambil membawa seperangkat alat gamelan.

Masa-masa sulit seolah tiada henti menimpa kesenian tradisional topeng. Beberapa kelompok tari topeng terpaksa bubar terlebih ketika dikaitkan dengan isu Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) di tahun 60-an. Namun, itu tak berlaku buat Sujana. Lantaran kecintaan pada tari topeng yang digeluti bertahun-tahun membuat Sujana mampu bertahan meski zaman terus berubah.

Bagi Sujana, satu-satunya kebahagiaan yang didapatkan adalah kedua putranya, Inu Kertapati dan Astori yang bisa melanjutkan usahanya mempertahankan kesenian tradisional ini. Bahkan, kedua putranya pun telah dikenal sebagai pengganti sang maestro untuk berpentas di berbagai tempat.

Sujana seperti tiada henti mencari harapan masa depan seni tradisi warisan nenek moyangnya. Makna spiritual tari topeng yang dulu hanya dimiliki keluarga-keluarga tertentu kini tak berlaku lagi pada diri Sujana. Baginya, gerakan gemulai tari yang dipertontonkannya setidaknya mampu menggugah minat generasi muda terhadap kesenian yang hampir punah di desanya.

Tapi, semangat, keyakinan serta nilai-nilai yang diajarkan Sujana pada akhirnya berpulang kembali pada ketertarikan masyarakat sebagai penjaga terdepan kelangsungan hidup seni tradisional. Jika orang ingin menonton dan penari ingin menarikannya maka tarian itu akan hidup. Akan tetapi jika tidak maka tarian itu akan punah. Kisah hidup Sujana menghargai tradisi leluhurnya seperti tak pernah henti meski dimakan oleh usianya yang renta. Kesenian kuno ini dijalani seperti falsafah hidup yang dianutnya. Jika mati meninggalkan keharuman.(ORS/Syaiful Halim dan Antok Susanto) SUMBER: Klik teng riki jeh...

===================

FASE KEHIDUPAN SUJANA ARJA
sumber: www.cirebonkotaku.blogspot.com

Sanggar tari topeng di Desa Slangit, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, itu bernama Panji Asmara. Luasnya sekitar seperempat hektar. Dindingnya belum diplester.

Sanggar itu terdiri dari empat kamar, yaitu ruang tamu, ruang tidur, kamar mandi, dan ruang penyimpanan gamelan, dengan lantai semen yang retak di beberapa bagian. Sementara di bagian depan terdapat pendopo berlantai keramik putih yang biasanya digunakan untuk latihan tari.

Pada dinding terpasang puluhan piagam penghargaan seni tari yang sebagian di antaranya berjamur dan kusam. Di situ tertulis, ”Diberikan pada Sujana Arja Atas Perhatiannya Pada Kesenian Tari Topeng”.

Panji Asmara artinya lebih kurang ”lambang kesejahteraan”. Hanya saja, meski usianya sudah belasan tahun, kesejahteraan itu belum juga mengena kepada si empunya sanggar, Sujana Arja.

Sehari-hari ia hidup dari bantuan anaknya dan pinjaman uang tetangga. Menurut ia, sekarang ia dan rombongannya tidak bisa mengandalkan hidup dari pentas tari topeng saja. Pentas paling dua kali dalam setahun.

”Setiap kali pentas, saya pasang tarif Rp 30 juta. Hasil itu saya bagi dengan sekitar 30 pemain, dari dalang, penabuh gamelan, hingga penari tambahan,” katanya ketika ditemui di rumahnya, akhir Juli lalu.

Jangankan untuk membeli kostum tambahan, untuk makan saja susah. Sehari-hari saya cuma nganggur, tidak punya dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Saya sering sedih dan menangis bila melihat keadaan saya seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, saya harus menerima semuanya, kata Sujana pasrah.

Keliling kampung

Tari topeng adalah satu-satunya warisan orangtuanya yang tersisa. Mulai umur delapan tahun, ia sudah diajari ayahnya untuk menekuni tari topeng dengan harapan dapat dibawa keliling kampung untuk bebarang (mengamen tari topeng). Dua tahun digembleng ayahnya, Sujana kecil mulai mengikuti rombongan kesenian ayahnya untuk menari di sekitar tempat tinggalnya di Desa Slangit. Ada lima urutan tari topeng yang harus dipelajarinya. Berturut-turut adalah panji, samba, rumyang, tumenggung, dan kelana.

Lima babak itu biasanya dibawakan dalam satu jam. Jadi, kalau keliling kampung bisa 10 hari kalau beres. Satu kali tampil dibayar dengan cara bakdeng, satu babak satu bedeng padi. Satu bedeng sekitar 8-10 kilogram padi, katanya.

Panji melambangkan kelahiran seorang manusia ke dunia. Samba melambangkan bayi yang telah beranjak dewasa. Rumyang melambangkan pernikahan yang ditujukan untuk menghasilkan keturunan yang baik. Tumenggung melambangkan kewajiban seseorang yang menikah untuk bekerja sebagai bekal bagi keluarga. Kelana adalah kontrol yang harus dimiliki orang itu agar tidak sombong dalam menghadapi hidup.

Belajarnya harus berurutan, tidak boleh loncat-loncat, karena ada pesan filosofisnya. Pasalnya, seni tari topeng awalnya merupakan sarana dakwah para wali di Cirebon untuk menyebarkan agama Islam, katanya.

Kepiawaiannya mulai dikenal masyarakat ketika ia berumur 12 tahun. Daerah tampilannya meluas hingga Cirebon dan akhirnya dikenal hingga tingkat nasional. Dengan pesat, namanya pun tercatat sebagai maestro seni tari, khususnya tari topeng Cirebon.

Alhasil, pertunjukan ke berbagai negara juga sering dilakoninya mewakili Indonesia. Tercatat negara seperti Australia, Amerika Serikat, Swiss, Belanda, Jerman, dan Jepang merupakan negara yang pernah ia kunjungi. Muridnya pun tidak sebatas dalam negeri, 32 muridnya tersebar di beberapa negara yang pernah ia kunjungi itu.

Jangan punah

Keinginan orangtuanya untuk terus melestarikan tari topeng diturunkan kepada dua anak laki-lakinya, Inu Kertapati dan Astori. Sama seperti Sujana, nama Inu Kertapati telah dikenal ke mancanegara melalui tari topeng. Terakhir, tahun 2004, Inu dikirim ke Taiwan mewakili Indonesia dalam pertukaran seni budaya.

Sekarang kalau ada undangan untuk tampil, Inu sering menggantikan saya karena saya sudah tidak kuat lagi untuk menari, katanya.

Akan tetapi, ia mengakui, warisan itu tidak cukup bila hanya ia berikan kepada anaknya. Lama-kelamaan tari topeng akan punah bila hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Ia melihat lingkungannya, beberapa teman seperjuangannya, seperti tari topeng versi Palimanan, versi Gegesik, dan versi Losari, sudah di ambang kepunahan.

Kalau bisa, saya titipkan kesenian tari topeng yang masih tersisa ini pada generasi selanjutnya agar di kemudian hari tidak punah. Sebab, saya yakin dari topeng kita bisa belajar apa yang disebut dengan fase kehidupan, kata Sujana.


Comments