Semiotika Berekat Maulid

UMAT Islam pasti pernah punya pengalaman memperingati hari maulid (kelahiran) Nabi. Upacara ini di kampung-kampung masih dirayakan dengan meriah dan gegap gempita. Kebersamaan masih menjadi napas mereka sehingga tidak mengalami kesulitan ketika hendak menyuntikkan kesadaran bahwa tanggal 12 Rabiul Awal adalah penanda tentang kelahiran Sang Nabi.

Karena Maulid adalah upacara keagamaan, tentu salah satu yang tidak pernah ketinggalan adalah menghadirkan ustad (penceramah) untuk mengurai kisah dan hikmah seputar Maulid Nabi. Bagi Ustad, bulan Maulid adalah bulan marema, menerima "order" dari berbagai kalangan masyarakat di berbagai daerah dan pelosok.

Penceramah datang menguraikan kejadian seputar maulid Nabi dan kadang dihubungkan dengan realitas umat Islam saat ini. Jamaah menyimaknya dengan penuh khidmat. Melalui penceramah, umat diajak memasuki alam pikiran kenabian, diajak bernapas sezaman dengan Muhammad saw dengan segala dinamika perjuangannya yang dahsyat dan penuh daya pikat.

Dalam konteks komunikasi massa, tentu ustad yang diundang ke sana-ke mari adalah mereka yang tidak hanya memiliki kecakapan retorika, namun juga punya keterampilan membumbui materi ceramahnya dengan humor-humor agar jamaah yang ikut muludan tidak jenuh. Bahkan boleh jadi hari ini, dengan arus budaya populer yang semakin dahsyat, humornya jauh lebih banyak ketimbang materinya. Sisi retorikanya pada titik tertentu seringkali menyingkirkan kedalaman pesan-pesan keagamaannya.

Memasuki spirit masa silam kenabian bukan saja perlu, tapi suatu keniscayaan. Bukan bermaksud mengidealisasi sejarah, tapi dalam upaya bagaimana masa silam itu memberikan daya spirit untuk "menghidupi" masa sekarang yang telah kehilangan arah. Masa sekarang yang telah limbung tergerus limbo nafsu kebendaan yang kelewat batas, dibersihkan kembali dengan bercermin pada asketisme kenabian yang hidup pada masa lalu.

Kata Harold R Issacs, "Jika masa lampau itu mati, maka mayat-mayat hidup itu akan menari-nari di atas makam-makam baru di mana-mana, setiap hari dan setiap waktu apa saja. Setiap benturan atau bentrokan baru dalam suatu cara yang lain seakan-akan menghidupkan kembali konflik-konflik yang tidak dapat ditahan dan umumnya berakar dari beberapa masalah yang kurang lebih berasal dari masa lalu."

"Berkat"

Keberkahan diyakini masyarakat selalu menyertai hari kelahirannya. Dalam makna sosiologis masyarakat Sunda, keberkahan ini dimanifestasikan dalam bentuk makanan berekat, meski format berekat itu sendiri bentuknya terus mengalami perubahan. Dahulu dianyam dari bahan bambu, berubah ke dus dan sekarang dus pun tergeser plastik.

Berekat yang sengaja dibuat, di kampung-kampung tidak dimonopoli oleh kaum kaya tapi rereongan (bersama). Semua warga ikut berpartisipasi sesuai kemampuan masing-masing. Bahkan kadang dilakukan "iuran" agar semua ikut berkonstribusi dan merasakan nikmatnya kebersamaan. Indahnya makna bersatu dalam menyambut hari yang agung.

"Berkat" bagi saya menjadi sebuah metafora tentang bagaimana nasi dan lauk-pauk hadir melambangkan tentang hasrat spiritual sekaligus cermin solidaritas antara satu dengan lainnya. "Berkat" bukan sekadar "makanan" tapi juga ekspresi keilahian karena sejak awal motif yang disuntikkannya adalah kerinduan menghadirkan Sang Nabi di hari kelahirannya itu.

Barangkali betul apa yang dibilang Claude Levi-Strauss, antropolog Prancis, yang sampai pada sebuah kesimpulan bahwa makanan sesungguhnya dapat dijadikan pintu masuk untuk mengungkap geneologi kebudayaan seperti tampak dalam bukunya Myth and Meaning (1978).

Orang menelaah kebudayaan tidak lagi perlu melulu lewat jalur "resmi" semisal tari, pemikiran, lukisan, sastra, kesenian, tapi juga dari jenis, karakteristik dan wadah makanannya. Makanan sebagai bagian dari kreasi budaya luhur manusia. Seandainya Descartes, Bapak Rasionalisme, bilang, "Aku berpikir, maka aku ada", maka bagi Levi-Strauss, "Aku makan oleh karena itu aku (budaya) ada".

Makanan, apalagi kalau dihadirkan dalam upacara sakral, memiliki makna yang berhubungan dengan dunia yang luas: fisik-nonfisik, material sekaligus spiritual, menyelesaikan hajat jasmani sekaligus menariknya ke langit-langit rohani. Dalam kosmologi purba inilah makna leluhur kita membuat sesajen dan "tolak bala" tidak lain dalam upaya membangun harmoni antara semua elemen yang ada di dunia nyata dan alam gaib, untuk menciptakan hubungan yang tertib antara makrokosmos dan mikrokosmos.

Sesajen dan berekat dengan segala jenis makanan yang disajikannya akan sangat keliru kalau dibaca secara tekstual, apalagi dengan pembacaan nalar parsial semata, misalnya dengan menalaah lewat optik fiqh (hukum Islam) yang serba hitam-putih, tapi lebih mengena kalau dibedah melalui semiotika (ilmu tentang tanda) dengan semangat etnografis dan dalam konteks keagamaan didekati dengan pendekatan dimensi mistis Islam esoterik (tasawuf).

Berkah

Sementara "berkah" secara harfiah bermakna "bertambahnya nilai kebaikan". Dalam bahasa Sunda dikenal istilah ngalap berkah, biasanya diungkapkan untuk menggambarkan tentang harapan datangnya kebaikan yang di luar kalkulasi akal budi. Bahwa kerja yang telah kita lakukan tidak sekadar mendatangkan keuntungan material, namun juga mendatangkan "nilai" dan sekaligus kepuasaan secara spiritual. Diksi berkah juga sama, akan mengalami kesulitan kalau dimaknai secara rasional seperti dalam logika kaum modernis yang selalu berpikir rasional, tekstual, dan hitam putih.

Berkah sesungguhnya lebih mengandung arti pantulan keinginan untuk memperantarai antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan. Antara "langit" adikodrati dan "bumi" duniawi jaraknya, di antaranya, didekatkan dengan berkah. Berkah sebagai jawaban dari pengakuan kedaifan manusia, dari hal ihwal kehidupan yang sangat kompleks yang tidak memungkinkan menemukan jawabannya semata-mata melalui akal instrumental.

Alhasil, lewat maulid yang kebetulan bertepatan dengan tanggal 24 Januari 2013, kita dapat merajut kembali hubungan ilahiah dan insaniah kita. Maulid menjadi monumen kenabian yang mengingatkan kita bahwa momen-momen hidup yang kita jalani sejatinya mengandaikan tegak lurus dengan nilai-nilai monumen profetik yang dahulu ditegakkan Sang Nabi.

Sumber: Jurnal Nasional | Rabu, 23 Jan 2013, Hal. 6
Penulis: Asep Salahudin - Dekan di IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya

Comments