Dalam kosmologi Umat Islam, Muhammad SAW memiliki posisi
yang unik. Muhammad Iqbal dalam Javid Nama mencatat, "Tuhan dapat kau
ingkari/namun nabi tak...! Serupa darah yang mengalir dalam napas
umatnya." Maka, misalnya, menjadi dipahami ketika Muhammad SAW dinistakan,
selalu mengundang reaksi keras dari seluruh umat Islam, seperti terjadi dalam
kasus film amatir Innocence of Muslim tahun lalu. Umat Islam di Mesir, Yaman,
Inggris, Australia, Tunisia, Palestina, Maroko, Malaysia, Indonesia, dan
lainnya serentak unjuk rasa.
Mereka secara erat disatukan melalui emosi dan sensitivitas
yang tidak berbeda. Film itu juga bahkan telah merenggut nyawa seorang Dubes AS
Chris Stevens di Libya dalam serangan ke konsulat AS di Benghazi. Sebelumnya
hal itu juga terjadi melalui fi lm Islam, The Untold Story, yang di antaranya
dalam film ini disebutkan ada bukti kontemporer sangat sedikit tentang Nabi
Muhammad. Dalam film itu juga disebut-sebut Alquran miskin gagasan dan tidak
ada bukti bahwa Islam mulai terbentuk pada abad ke-7.
Kasus jauh sebelum itu adalah Langit Makin Mendung-nya Panji
Kusmin, Monitor-nya Arswendo, The Satanic Verses-nya Salman Rusdhie, dan karikatur
Jyllands-Posten Denmark. Muhammad SAW dalam memori kolektif umat Islam tidak
hanya diyakini sebagai nabi terakhir, tetapi juga dinobatkan sebagai rujukan
moral dan muara seluruh keteladanan. Pesan-pesannya diapresiasi melampaui ruang
dan waktu. Bahkan, secara teologis disitir bahwa puncak-puncak kebahagiaan dan
keselamatan sebagiannya diletakkan dalam kesediaan umatnya untuk menapak
jejak-jejak rohaniah yang telah ditorehkannya.
Dalam sajak kelanjutan penyair Pakistan itu dikatakan,
"Melalui cinta esensinya berkobar/dan perbendaharaan tersembunyi
berkembang/diri membutuhkan api dan cinta." Dia beristirahat dalam pelukan
gua hira/dan membangun bangsa, konstitusi dan pemerintahan/malam demi malam
berlalu/dengan isi ranjang menemukannya dalam keadaan jaga/dengan demikian
rakyatnya dapat beristirahat."
Dalam simpul seorang perenialis Frithjof Schoun seperti
dikutip Annimarie Schimmel dicatat, "Identitas kebajikan-kebajikan
Muhammad ini menjelaskan gaya impersonal manusia suci, tidak ada kebajikan-kebajikan
lain kecuali kebajikan-kebajikan Muhammad sehingga kebajikan-kebajikan itu
hanya dapat berulang pada orang-orang yang meneladaninya."
Kesimpulan yang sama kita temukan juga dalam logika
fikih-tasawuf Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali dan nalar mistis Futuhat
al-Makiyyah-nya Ibnu Arabi. Begitu juga dalam tradisi kebatinan lokal nusantara
dan tasa wuf mistik sunda bagaimana "nur Muhammad" dianggap sebagai
mata rantai alam kebatinan dan penghayatan kaum salik (pengembara spiritual).
"Nur Muhammad" yang ditafsirkan bukan hanya secara historis,
melainkan juga mitologis.
"Nur Muhammad" dalam titik tertentu menjadi konsep
purba yang memperantarai dialog antarkebaikan universal dan hikmah perenial di
antara berbagai kepercayaan di berbagai daerah di seluruh dunia tentu dengan
bahasa ucap dan simbol yang berbeda. Makna "nur Muhammad" menjadi
"tali penghubung" antara masa lalu, hari ini, dan masa depan dalam
sebuah fantasi tentang hadirnya kehidupan yang berada dalam terang cahaya
kewahyuan, seperti secara historik dicontohkan Muhammad SAW 1.400 tahun lampau.
Konser Spiritual
Maka, menjadi sangat bisa dipahami kalau setiap tahun hari
kelahirannya selalu diperingati umat Islam di berbagai belahan dunia dengan
tradisi masing-masing. Fragmen kelahirannya ditulis dalam berbagai kitab dalam
bentuk prosa dan puisi, dalam wujud natsar dan syair. Atau, dalam bentuk buku
utuh seperti dilakukan Husain Haikal dalam Hayat Muhammad (1935), Amir Ali
lewat The Spirit of Islam (1922), Khawaja Kamaluddin melalui The Ideal Prophet
(1925), dan Hafi dz Ghulam Sarwar mengeluarkan buku Muhammad the Holy Prophet
(1949).
Upacara yang dilakukan secara ber ulang-ulang maksudnya
tidak lain sebagai satu bentuk kerinduan menghadirkan spirit kenabian pada hari
ini, justru ketika zaman semakin melenceng dari fitrahnya. Kini kemanusiaan
kian tersekap dalam nafsu culas dan tabiat kebinatangan yang menyeruak menjadi
arus utama dasar kemanusiaan kita.
Muhammad SAW dalam upacara Maulid itu dikenang sebagai satu
siasat identifikasi diri yang ditautkan pada haluan akar religiositas yang
memupuknya: tradisi kenabian. Dari identifikasi ini diharapkan kita bisa
menciptakan konsep diri yang lebih autentik dengan meneladani keagungan
kiprahnya. Konsep diri berhubungan dengan sosial (membangun solidaritas di atas
pijakan semangat persaudaraan), budaya (menjadikan pekerti sebagai jangkar utama
dalam merakit kebudayaan), ekonomi (mengelola ekonomi dengan spirit
mendistribusikan keadilan yang merata kepada semua pihak), politik
(mengembangkan sikap terbuka, toleran, dan membentuk keutamaan publik).
Konsep diri pangkalnya ditancapkan di atas haluan utama
sistem kepercayaan monoteisme: pengakuan keesaan Tuhan dengan segala derivasi
etik moralitas sosialnya. Tuhan Yang Esa se hingga menihilkan sikap segala
kekhawatiran; Tuhan Yang Agung yang menginjeksikan rasa kedaifan kita; Tuhan
Yang Kuasa yang membungkam tumbuhnya rasa jemawa; Tuhan Yang Abadi yang
merasukkan perasaan ihwal kesementaraan kita; Tuhan Yang Kaya yang membikin
kita tidak lupa daratan dengan kekayaan yang dititipkan-Nya;
Tuhan Sang Penguasa yang kuasanya mengakibatkan kita bisa
mengelola kekuasaan dengan santun dan tidak kehilangan akal sehat.
Alhasil, mengenang Nabi Muhammad SAW melalui pintu Maulid
adalah satu bentuk menyegarkan kembali ingatan tentang pentingnya hidup
menemukan fitrahnya yang hakiki. Hidup yang tidak kehilangan marwahnya. ●
REPUBLIKA, 23 Januari 2013
Asep Salahudin ; Dekan di IAILM Pesantren Suryalaya
Tasikmalaya
Comments
Post a Comment