PERTUNJUKAN TOPENG CIREBON “INFAK TUBUH” DAN “AKHLAK BUDAYA”



Oleh Toto Amsar Suanda

Melihat penari topeng, saya teringat sebaris sajak Mao Zedong: Sekali ayam berkokok, maka berubahlah dunia. Demikian bunyi sebaris sajak itu, dan bisa dianalogikan kepada penari topeng menjadi: Sekali penari memakai kedok, maka berubahlah ia. Demikian kokok ayam dini hari dan penari topeng yang sangat mempunyai kemiripan. Ia bukan saja mengubah dirinya menjadi bukan dirinya lagi, tetapi bisa menjadi siapapun dan menjadi apapun. Ia yang mengendalikan dan ia juga yang dikendalikan. Keduanya hampir tak mempunyai batas pemisah. Satu untuk berdua, berdua untuk satu.

Demikian pertunjukan topeng Cirebon, penarinya bukan saja mengubah dirinya menjadi macam-macam tokoh, akan tetapi juga dengan macam-macam karakter. Ia “mempermainkan” karakter-karakter kita sehari-hari. Kadang-kadang baik, kadang-kadang jelek, kadang-kadang lembut, tetapi sesekali keras. Kadang-kadang serius, tetapi suatu waktu berubah menjadi sangat lucu. Itulah topeng, dan itulah kita, ketika memakai “topeng”.

Topeng Cirebon mewakili keseluruhan kehidupan kita sehari-hari, gambaran siklus kehidupan kita. Pertunjukan yang pada hakekatnya bukan saja hanya berupa permainan karakterisasi, akan tetapi jauh lebih dari itu, yakni pertunjukan yang mempertentangkan baik dan buruk. Itulah akhlak. Yang “baik” diwakili oleh tari topeng Panji dan yang “buruk” diwakli tari topeng Klana. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ada di posisi yang mana? Panji atau Klana?

Di atas pentas, penari “menginfakkan” tubuhnya, dan oleh karenanya kita merasa terpukau, terharu, gembira, dan bahkan orang bisa menangis, malah ada juga perasaan-perasaan lainnya yang boleh jadi suatu perasaan yang berada di antara “pernah” dan “belum pernah” kita rasakan; di antara “pengamalaman yang pernah” dan “juga belum pernah” kita alami sebelumnya.

Marilah kita simak beberpa hal penting yang terdapat dalam pertunjukan  topeng berikut ini:

Kotak, Kedhok, dan Gamelan

Salah satu perlengkapan yang senantiasa ada di dalam pertunjukan topeng Cirebon adalah kotak topeng. Kotak yang ukuran besarnya antara 60 cm x 75 cm dan tingginya sekitar 75 cm terbuat dari kayu, tempat menyimpan beberapa perlengkapan pertunjukan, antara lain kedhok dan alat tabuh. Kotak topeng biasanya memakai tutup yang didesain menyerupai stupa candi. Bagian atasnya dibiarkan menganga, untuk memudahkan penari topeng manakala mengeluarkan dan memasukkan kedhok. Diletakkan di tengah-tengah panggung di depan jejeran waditra gamelan. Sebelum dimulai tari-tarian, kotak biasanya masih tertutup dan di atasnya diletakkan sobrah. Tutup kotak itu akan dibuka (biasanya oleh pengeprak atau penabuh kecrek) manakala dalang topeng akan mulai menari. Kotak juga mempunyai arti yang sangat penting, bukan saja hanya difungsikan sebagai wadah untuk perlengkapan pertunjukan dan alas atau tempat untuk menggantungkan kecrek, akan tetapi juga berfungsi sebagai patokan arah gerak  bagi dalang topeng.

Kotak adalah wadah dan kedhok adalah isinya. Kotak dan kedhok adalah ”wadah dan isi”, kurung jeung kuring, isun lan ingsun, yang padanannya sama dengan jasmani dan rohani. Kotak adalah makna dari kurung (jasmani), dan kedhok bermakna sebagai kuring atau aku (rohani). Ketika kedhok tergolek di dalam kotak maka ia tak berdaya karena dikuasai oleh wadahnya. Artinya, kuring di dalam kurung; jiwa di dalam raga; rohani di dalam jasmani. Kuring na jero kurung; isun ning jero ingsun (‘aku’ di dalam jasad). ‘Aku’ tidak bisa melihat yang ‘mengurung aku’. Kedhok-kedhok yang tergeletak di dalam kotak itu adalah rohani-rohani dengan segala tabiatnya, nafsunya, keinginannya, cita-citanya, dan sebagainya. Kedhok di dalam kotak adalah paradoks, dualistik komplementer. Jadi, ketika kedhok diambil penari dan dipakainya sama artinya dengan perpindahan alam kesadaran manusia. Kedhok di dalam kotak tidak berdaya. Ia hidup dalam kediamannya, dan ia menjadi hidup dan bergerak manakala telah dikenakan penari di wajahnya. Jika saja kita beralegori, maka kedhok itu adalah ruh yang belum ditiupkan ke jasad oleh yang Maha Kuasa. Namun dalam konteks yang lain, ketika kedhok diambil oleh penari dari dalam kotak dan kemudian dikenakannya, sebenarnya ia tengah memindahkan titik dalam huruf nun  menjadi titik dalam huruf ba. Pada saat itulah ia berada dalam fase liminalisasi, yakni fase anti struktur yang menjadikan nafas dan gerakannya ”adikodrati”. Ia berada dalam alam transendental. Maka tidaklah heran jika dalam pertunjukan topeng Cirebon seringkali ada penonton yang menangis atau merasa merinding kala menyaksikan dalang topeng menari. Jangan heran pula jika dalang topeng juga seringkali dimintai berkat keselamatan oleh sebagian orang yang mempercayai akan ”kesaktiannya”. Di atas panggung, ia bak seorang shaman.

Dari sudut pandang yang lain, kotak adalah simbol pamiangan (asal mulai berangkat) dan pangbalikan (tempat kembali). Dalam tasawuf Jawa, hal tersebut dikenal dengan sangkan paraning dumadi. Sesuatu yang mempertanyakan: dari mana kita berasal, ke mana tujuan, dan ke mana kita pulang. Menurut faham Islam, manusia dilahirkan ke dunia itu sebenarnya disuruh untuk mencari jalan kembali (pulang). Jalan kembali kepada pencipta-Nya. Oleh sebab itu, jika ada orang yang meninggal dunia senantiasa dilafalkan kalimat: inalilahi wa ina illaihi rojiun. Dari Allah, kembali ke Allah. Namun di dalam menempuh perjalanan ’pulang’ itu, masing-masing manusia mencari jalannya sendiri-sendiri. Itulah kira-kira interpretasi tentang mengapa dalang topeng senantiasa mulai menari dari depan kotak, kembali mengakhiri tarian di depan kotak; mengambil kedhok dari dalam kotak; dan menyimpan kembali kedhok ke dalam kotak.

Kotak topeng pada prinsipnya sama dengan kotak wayang (kulit, golek).  Kedua-duanya mempunyai makna sebagai pamiangan dan pangbalikan. Tempat awal dan akhir (wal awalu, wal akhiru). Dari kotaklah rahasia dan pesona topeng-topeng itu dimulai, “ruh” ditiupkan, dan ke dalam kotaklah rahasia dan pesona-pesona itu berakhir. Kita tidak bisa mengetahui apa yang akan ditarikan dalang (topeng, wayang) sebelum kedhok atau wayang itu diambil dan dimainkan dalangnya. Hanya orang-orang tertentulah yang segera mengetahui bahwa itu adalah Si Pulan atau Si Pulani, yaitu orang-orang yang mempunyai kemampuan penglihatan “ultra sonografi” (meminjam istilah kedokteran). Seseorang akan tahu terlebih dahulu, bahwa itu adalah tari topeng Panji, hanya karena ia telah mempunyai kemampuan teropong seperti itu. Sedangkan bagi yang lain, mungkin belum tahu. Jadi, kotak itu adalah asal sesuatu (manusia) “diadakan” (hidup) sekaligus “ditiadakan” (mati). Oleh sebab itulah, dalang topeng senantiasa menari dari “kotak” dan kembali ke “kotak”. Kotak adalah titik pusat bagi penari.

Sedangkan gamelan adalah sekumpulan alat musik (waditra) untuk mengiringi tari-tarian topeng. Biasanya berlaras prawa atau pelog. Akan tetapi, di samping nilai praktis seperti tersebut tadi. Kotak dan gamelan mempunyai makna yang jauh di luar nilai paraktisnya. Gamelan adalah kumpulan macam-macam alat musik: saron, bonang, kendang, kebluk, kenong, jenglong, gong, dan lain-lain. Masing-masing mempunyai peran, fungsi, dan teknik tabuh yang berbeda. Akan tetapi, semuanya mempunyai tujuan yang sama, yakni mengejar dan maraih satu titik nada tertentu. Semua waditra yang ditabuh akan berakhir pada satu titik nada tertentu. Itu tak lain adalah makna kebersamaan dalam keberagaman. Sebuah pesan moral yang mengingatkan kita pada kebhinekaan atau pluralisme. Jika saja penari topeng itu diibaratkan sebagai suatu kelompok minoritas dan gamelan sebagai mayoritas, maka pesan moral yang ingin disampaikannya adalah terjadinya sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling mendukung satu sama lain. Mayoritas tidak boleh menghancurkan atau menindas minoritas, dan sebaliknya, minoritas seyogyanya bisa menyesuaikan diri pada mayoritas. Itulah penari dan pemusiknya, tari dan musiknya. 

Gamelan yang ada di belakang kotak, adalah fikih bagi dalang topeng. Dari situlah pijakan penari itu berdasar. Ia yang mengendalikan dan ia yang dikendalikan. Segalanya harus patuh pada fikih itu. Musik dari gamelan adalah fikih untuk menarikan (bergeraknya) seluruh anggota tubuh penari itu. Fikih untuk memulai, mendahului, mengahiri, mengendorkan dan mengencangkan irama seluruh pergerakan tubuhnya. Semua infak dari pergerakan tubuh penari berdasar pada gamelan tadi. Infak tubuh yang berdasarkan pada fikih tari (Wiraga, Wirahma, dan Wirasa) dan fikih musik (Wirahma) itu mengalir nilai-nilai pengetahuan, pendidikan, kearifan, sejarah, perilaku, dan sebagainya.

Tari-tarian dan Infak Tubuh

Menari, bagi para dalang topeng Cirebon, bukanlah sekedar meliuk-liukkan tubuh atau memamerkan keindahan tubuh semata. Menari adalah menginfakan seluruh tubuh dengan seluruh pergerakannya untuk dinikmati dan dihayati penonton. Bagi penontonnya, berarti menerima infak pergerakan tubuh penari, dan berujung dengan merasakan getaran-getaran atau vibrasi ”listrik” yang menyentuh seluruh pancaindera dengan berbagai kemungkinan perasaan. Tari-tarian topeng Cirebon adalah mantra, dan mantra adalah energi. Jadi, seluruh pergerakan yang di-uncar-kan penari itu berupa energi yang memberikan vibrasi gelombang yang akan terhubung dengan vibrasi penerimanya dan meresap ke seluruh pancaindera. Jika hal ini terjadi, maka akan terwujud energi sistetis yang pada akhirnya akan mempengaruhi sususan syaraf kita. Energi sintetis itu, dalam pandangan filsafat Hindu disebut dengan advaita non dualis, yakni penyatuan dua energi, positif dan negatif.

Kini kita perhatikan bagian dari penampilan tari-tarian dalam pertunjukan topeng Cirebon yang penuh dengan muatan moral:

 1.    Panji

Tarian ini ditafsir bermacam-macam. Sebagian orang mengatakan bahwa tari topeng Panji adalah gambaran seorang bayi yang baru lahir. Tafsir ini didasarkan pada visual gerakannya yang lebih banyak diam, sehingga diasosiasikan seperti bayi. Gerakannya memang lembut dan “kecil” layaknya gerak-gerik seorang bayi. Pantas jika topeng Panji dianggap sebagai ikon bayi, dan apabila kita melihat anak-anak lahir terpejam dan tuli kita bisa melihat mereka sungguh-sungguh menampilkan senyum dan mengerutkan dahi pada saat yang tepat dalam kehidupan sehari-hari. Seperti itulah jika kita melihat topeng Panji.

Dibandingkan dengan tarian topeng lainnya, tari ini memang yang paling “irit” gerakannya terutama langkahnya. Saya belum melihat tarian manapun yang geraknya sehemat topeng Panji. Semua geraknya sangat pelan, dan lebih banyak ”diam” (yang dinamis) daripada ”bergerak”. Tari ini boleh jadi bukanlah sebagai ”tari hiburan” untuk penonton dan penonton awam akan menilainya sebagai tarian yang tak memiliki teknik gerak yang menarik.

Akan tetapi, kita bisa memberi tafsir yang lain, yakni dengan menganalisis lebih dalam dari sudut pandang yang lain pula. Misalnya, karakter topeng Panji yang alus ditafsirkan sebagai gambaran seorang manusia yang mulia. Simbol kebaikan, kebajikan, dan kehalusan budi manusia. Di dalam pertunjukan topeng Cirebon, kata Panji juga dimaknai secara khusus. Panji artinya siji atau mapan ning siji artinya teguh atau tahu dan percaya kepada Yang Satu (Tuhan). Dengan demikian, maka sebutan topeng Panji bukanlah gambaran sebagai tokoh Panji dalam cerita Panji, melainkan hanya sekedar pinjaman untuk mengungkapkan dan menyampaikan berbagai pesan simbolis tentang berbagai fenomena kehidupan manusia.

2.    Pamindo dan Rumyang

Sebagaimana halnya kata Panji yang akar katanya dari siji (satu), Pamindo juga dianggap berasal dari akar kata mindo, artinya kedua. Dalam pertunjukan topeng Cirebon, topeng Pamindo memang ditarikan pada bagian kedua. Jika tari topeng Panji sebagai ikon seorang bayi baru lahir, dan merupakan gambaran dari fase awal kehidupan manusia, maka topeng Pamindo adalah gambaran kehidupan manusia fase kedua, ikon kehidupan anak-anak.

Karakter tari tersebut adalah genit atau lincah yang oleh orang Cirebon disebut ganjen. Gerakannya gesit dan menghadirkan suasana yang penuh riang serta suka cita. Kadang-kadang terlihat seperti “terburu-buru”. Pada masa ini seorang manusia mengekspresikan dirinya sedemikian rupa untuk mencari dan mencapai identitas egonya. Demikian fase kedua kehidupan itu digambarkan oleh topeng Pamindo.

Topeng Rumyang sekarakter dengan Pamindo, sama-sama ganjen. Dalam pertunjukan topeng Cirebon, tarian ini merupakan kelanjutan dari Pamindo. Itulah sebabnya, mengapa penari topeng biasanya hanya berhenti sejenak untuk mengganti kedhok Pamindo dengan Rumyang. Gerakan tarinya menggambarkan fase akhir kedua. Tidak lagi kesusu, namun penuh kehati-hatian, bahkan terkesan seperti ragu-ragu. Ia bak seorang manusia yang perilaku dan tindak-tanduknya penuh pertimbangan.

Di Cirebon, menurut para dalang topeng, kata Rumyang berasal dari kata ramyang-ramyang, yang artinya mulai terang. Ini gambaran seorang manusia yang sudah mulai mengenal kehidupan.

 3.    Tumenggung

Tari topeng Tumenggung adalah gambaran fase ketiga kehidupan seorang manusia yang telah menunjukkan identitas egonya (jati diri). Dilihat dari kedhok dan tariannya, tarian ini menyiratkan seseorang yang berpangkat, pemberani dan berwibawa, sesuai dengan karakter tarinya yang gagah. Pada fase ini, manusia digambarkan telah sampai pada tahap kebahagiaan hidup di dunia sesuai dengan apa yang dicarinya.

4.    Klana

Fase terakhir dari kehidupan manusia digambarkan oleh tari topeng Klana. Dalam pertunjukan topeng Cirebon, tarian ini senantiasa ditampilkan paling akhir. Tariannya menggambarkan seseorang yang bertabiat buruk: serakah, angkara murka, bengis, dan tidak bisa mengendalikan hawa nafsu. Katrakternya sangat paradoks dengan karakter tari topeng Panji. Akan tetapi, kehadiran tarian ini justru banyak disenangi penonton. Sebaliknya, tari topeng Panji kehadirannya seringkali tidak diminati penonton.

Tari topeng Klana gambaran akhir kehidupan kita. Ketika kedhok ini telah dimasukkan lagi ke dalam kotak, maka berakhirlah pertunjukan topeng itu. Tak ada lagi bunyi musik; tak ada lagi gerak dan langkah penari; tak ada sorak-sorai; yang ada hanyalah kesunyian. Semua kembali ke asal. Itulah kematian. Akhir dari sebuah perjalanan hidup yang panjang.

Dari tari topeng Klana, kita diingatkan, bahwa di akhir kehidupan sebaiknya kita meraih kehidupan dalam bentuknya yang esensial serta spiritual, yang tempat penampakannya bukan di dalam hati, tapi di luar hati. Dalam konteks kehidupan akhir (mati) dikenal dua “kembali”, yakni “kembali dengan sengaja” (ar-ruju’al-ikhtiyari) dan ”kembali yang diharuskan” (ar-ruju’al-idhthirari). Untuk yang pertama berkenan dengan jalan mencapai kesempurnaan spiritual dalam hidup ini; sementara yang kedua berkenaan dengan alam kematian jasad dan kebangkitan kembali secara fisik.

Semoga di akhir kehidupan, kita tidak menjadi Klana supaya sampai pada Titik Pusat Teragung yang darinya segala sesuatu berasal dan ke mana segala sesuatu kembali. Amin.

Penulis adalah pemerhati topeng Cirebon, dosen Jurusan Tari STSI Bandung.

sumber: Klik teng riki jeh...

Comments