Merawat dan Menghormati Warisan Budaya (2 /Habis)


Tuesday, 14 December 2010
Oleh Matdon - Rois‘Am Majelis Sastra Bandung

SESUNGGUHNYA merawat benda sejarah tidak sama dengan mengurus benda lainnya, karena dia harus berbenturan dengan berbagai hal seperti kepentingan kelompok atau pribadi, misalnya tiba-tiba banyak orang berniat membeli topeng dengan harga ratusan juta.

Jika tergiur dengan tawaran itu, tentu saja benda-benda itu akan hilang dari ahli warisnya dan sejarah terputus. Karena itu, merawat dan memelihara benda sejarah sama dengan merawat diri sendiri, menjaga bagaimana warisan itu tidak tercerabut dari identitasnya. Apalagi jika harus turut merawat keseluruhan warisan dalam bentuk sanggar yang sudah ada sejak generasi Buyut Sukanta, diteruskan oleh generasi Buyut Darim, Sumitra, Mimi Sawitri, hingga akhirnya nasib sanggar ada di tangan Nani untuk tetap mengada,jangan sampai musnah seperti musnahnya topeng di Losari Timur bernama Mama Rasbin,sejarahnya terputus akibat tidak ada generasi pewaris.

Nani memang memikul tugas berat bagaimana meluruskan niat ikhlas memelihara warisan budaya yang satu ini, sebuah warisan yang lebih berharga dari emas dan gelimang harta benda.Upaya ini harus dibantu pemerintah, meski jangan terlalu percaya penuh pada pemerintah yang notabene cenderung lebih konsumtif atau hanya sekadar formal mencintai seni budaya demi kekuasaan dan berahi politik. Topeng Cirebon memang unik. Dia merupakan modifikasi antara seni tari dan drama, kedok dalam Topeng Cirebon adalah identifikasi karakter manusia.Maka ketika kita menonton tari Topeng Cirebon seperti tengah menonton diri––becermin dan memahami sejumlah ajaran baik mitos atau agama.

Kematian setiap tokoh (seniman) tradisi adalah kematian yang mengkhawatirkan generasi selanjutnya ibarat kematian para ulama pimpinan pondok pesantren yang sulit mencari pengganti, sehingga kematian mereka adalah kematian yang riuh pujian sekaligus kesunyian yang mahadahsyat. Dibutuhkan semangat Nabi Ibrahim dan ketulusan Nabi Ismail untuk menghidupkan kembali “roh” mereka ke dalam pergaulan global. Mungkin geraknya masih sama, mungkin topengnya masih yang itu-itu juga, tapi industri dan pasar mengancam keikhlasan penerusnya.

Ketulus-ikhlasan inilah yang sebenarnya mampu merawat masa depan itu. Dari hanya perjalanan menengok “peninggalan” Sawitri, saya terlalu sering mendengar tokoh yang lost generation. Kita telah kehilangan Mang Koko, Kang Nano, Kang Ibing, Mang Udjo, Sawitri, Rasinah, Mimi Sudji, Mama Sudjana Arja, dan sejumlah tokoh lainnya dari genre seni tradisi yang berbeda-beda. Mereka sebenarnya telah memberi kekuatan meminjamkan aura, di samping ahli warisnya juga harus berupaya keras memelihara dan merawat energi semangat mereka.

Kita boleh jadi adalah ahli waris mereka,bukan ahli waris secara genetika,tapi ahli waris budaya itu sendiri,itu pun jika kita tidak mau seni tradisi menderita. (*) 

Comments