Maulid dalam Implementasi Kultural


 Ditulis oleh M. Achfas Syifa Afandie*            

“Pada bulan ini, umat Islam akan kembali dihadapkan pada satu momen yang amat penting dalam sejarah. Maulid nabi, peristiwa mengenang kelahiran dan perjalanan Nabi Muhammad saw. Pada momen tersebut; Masjid, Surau, dan forum keagamaan akan kembali dihidupkan dengan beragam pujian seperti Diba’i, Barzanji baik berupa syair (nadzom) ataupun prosa (nasar)”.

Muhammad  nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdulloh, dilahirkan pada 12 Robiul Awal atau bertepatan dengan 20 April 571 M. Beliau dilahirkan dari rahim Aminah binti Wahab. Muhammad terlahir dalam keadaan yatim, setelah tujuh bulan sebelum kelahirannya di tinggal mangkat sang ayah, Abdulloh. Dan enam tahun diusianya, ibunya, Aminah menyusul menghadap Allah swt.

Perjalanan Muhammad yang sarat nilai, menjadikan figur ini untuk selalu dikenang. Karena keberhasilannya merubah wajah peradaban dunia yang hanya dilakoni dalam tempo 23 Tahun. Maulid nabi, sebuah peristiwa, hikayat, dan kearifan dari seorang pembawa risalah dengan segala perjuangannya telah menjadikan tokoh ini dikenang bukan hanya untuk zamannya tapi juga selamanya.

Muhammad dalam diskrepansi Jahiliyyah

Letak greografis Arab yang gersang nan tandus, telah membentuk karakter kamunitas yang menetap di daerah tersebut berwatak keras, bengis, dan bertindak semaunya. Hal ini diperkeruh dengan frame ‘fanatisme kesukuan’, gelagat berlebihan  dan menomersatukan harkat antar suku. Pencapaian posisi (baca: derajat) menjadi prioritas dalam memenuhi pengakuan  satu suku lebih baik dari lainnya. Bahkan tidak jarang pencapaian tersebut harus berakhir dengan kontak fisik, peperang. Potret suram dimasa ini, setidaknya terus berlangsung dalam tempo cukup lama hingga hadirnya pembawa oase kehidupan bermoral, Muhammad. Tokoh yang merubah hamparan padang pasir yang gersang menjadi hijau beretika.

Diawal kehadirannya, Muhammad membawa pesan perdamaian dan kesetaraan, misi yang akhirnya menempatkan bangsa Arab pada desentrasi peradaban yang maju dan disegani. Tindakannya didasari realitas ketidakadilan yang hanya mendikte suku terrendah. Marginalisasi klan urban (kota), sebagai pemegang kasta tertinggi, terus dilancarkan demi pencapaian status quo dari rifal-fifalnya. Sehingga tidak mengherankan jika terjadi ketimpangan sosial yang amat jauh. Ironisnya, jurang pemisah kian jauh ketika satu suku tidak mampu mempertahankan harkatnya. Karenanya, misi Muhammad adalah menghapuskan beragam bentuk diskriminisai yang hanya menempatkan seorang pada satu-dua di tingkat berbeda.

Dalam hal ini, menurut catatan Neal Robinson dalam Pengantar Islam Komprehensif (2003), keberhasilan Muhammad menyatukan suku Arab karena beliau adalah pemimpin yang kuat dan mampu menyelesaikan perpecahan dalam masyarakat mereka. Hal ini terlihat dari hijrah nabi dari Makkah ke-Madinah. Meskipun mereka berasal dari suku-suku yang berbeda, orang madinah melihat mereka berasal dari satu suku yang sama, dengan Muhammad sebagai pemimpinnya. Oleh karenanya status politisinya bukan hanya sebagai nabi, namun berperan pula sebagai pemimpin suku.

Selain itu, catatan terbesarnya adalah merotasi dekadensi moral berkepanjangan. Kala itu, bangsa Arab yang terkungkung dalam tirai kebodohan, rendah pakerti, dan jauh dari norma manusiawi.. Seperti kehadiran anak perempuan yang anggap tidak lebih sebagai boneka pemuas -maaf- libido. Bagi satu keluarga kehadirannya sebagai sebuah aib, maka mengubur perempuan hidup-hidup menjadi tradisi yang lumrah. Sehingga pantas jika ada pameo klasik mengatakan, “ pendamping hidup paling ideal bagi anak perempuan adalah batu nisan”. Muhammad menyadari semua itu, karenanya beliau dengan santun mengajak pada kehidupan yang lebih islami, terarah dan benar-benar manusiawi. Melalui keberhasilannya, sehingga tidak berlebihan jika Michael H. Hart dalam bukunya The 100 menempatkan Muhammad dalam urutan teratas tokoh paling berpengaruh di dunia.

Maulid dalam perspektif ideologis

Secara pemaknaan maulid ialah waktu atau tempat kelahiran, istilah ini pada akhirnya digunakan untuk terminologi yang tidak terbatas, seperti halnya peristiwa kelahiran nabi Muhammad saw. yang kemudian disebut ‘maulid nabi’. Istilah maulid pula terus diserasikan secara berkelanjutan sehingga didapatnya ragam istilah yang terkait dengan kata ‘maulid’. Sedangkan menurut Sayid Zen al-âbidin al-alawi al-hasani mengatakan, maulid ialah interperntasi nilai dengan membaca sejarah nabi mulai fase kelahiran, kenabian, sampai diutusnya menjadi seorang rasul. Disamping itu, larut dalam eforia menyambut kelahiran nabi termasuk sala satu cara merefleksikan maulid nabi.

Di Jawa, tradisi ini dikenal dengan Maulidan atau Muludan yang dikenang setiap tanggal 12 Robiul Awal atau pada tahun ini bertepatan dengan 5 Februari. Di banyak daerah, Jogja misalnya, terdapat tradisi Skaten sebagai pendukung dari rangkaian Grebeg Maulid. Atau di Gunung Jati, Cirebon, terdapat tradisi serupa dan sebagai acara puncak dikenal dengan pelal.

Dalam tradisi masyarkat, maulid dijadikannya bersinegi dengan tradisi. Penghayatan kearifan lokal (local wisdom) yangdiserasikan dengan syariat, telah menjadikan syariat yang mentradisi, bukan tradisi yang berjalan dengan sendiriya. Pengakuan tradisipada syariat, acap kali dinilai dua sudut yang tidak bisa disingkronkan. Kontra klise kian mencuat ketika dihadapkan pada tradisi yang terlahir dari budaya non-Islam. Terlepas dari semua itu, yang jelas Islam datang penuh toleran, mengakomodir tradisi masyarakat selagi tidak bertentangan dengan syariat. Sikap menghargai tradisi ini, dalam Islam kemudian dijadikan maksim teoritis fikih klasik (al-Qowaid al-Fiqhiyyah) dengan diktum al-âdah al-muhakkamah, tradisi atau budaya dapat dijadikan standar hukum.

Sejarah akulturasi budaya dakwah wali sanga, telah memberiakan pelajaran dalam dakwah generasi selanjutnya. Menghadirkansesaji untuk sesembahan secara bertahap mulai tergantikan. Dengan santun, mereka mengajak meninggalkan animisme-dinamisme untuk mengesakan Tuhan, Allah swt. Keberhasilan islamisasi budaya bisa dilihat dalam tradisi skaten, berawal dari pementasan wayang Sunan Kali Jaga, sebuah pentas hiburan cukup moncer untuk mendatangkan masa. Dengan diselingi penyampaian hikmah atau petuah bijak, pentas tersebut berjalan sukses.  Pada akhirnya, tidak sedikit masyarakat yang mengikrarkan dua kalimat syahadat. Sampai sekarang tradisi ini masih dilestarikan sebagai bagian acara Grebeg Maulid di Jogja. Kata sekaten sendiri, menurut pementaan jawa berasal dari kata syahâdataîn atau dua kalimat syahadat.

Sebetulnya masih banyak lagi islamisasi kultur jawa seperti penyampaian ajaran melalui symbol, pembagian kue apem misalnya, yang berasal dari kata afwun, minta maaf. Serangkaian Islamisasi semacam itu tidak begitu mengagumkan, justru yang mengagumkan telah menjadikan peribadatan (dalam Islam) di mata masyarakat tidak harus dengan cara formal, melainkan dapat direfleksikan dalam tradisi dan budaya masyarakat termasuk peringatan maulid. Dan tentunya masyarakat  lebih bisa menghayati peringatan maulid yang ‘dibalut’ dengan tradisi, ketimbang merayakan maulid dengan cara terlalu formal. Kiranya proses Islamisasi ini sejalan dengan pesan profetik Rosulullah saw. untuk melakukan kebaikan, beliau menjelaskan kebaikan dimaksud adalah, muwâfiqun linnas ma’adâ  al-ma’âsy,adaptasi pada (budaya atau tradisi) masyarakat selama bukan maksiyat.

Lebih lanjut, menurut Dr. Syyid  Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam bukunya bertitel Mafâhim yajibu an tusohah mengatakan, kebiasana ijtima’ (berkumpul pada waktu tertentu) seperti Maulid, Isro’ Miroj, malam Nisfu Sya’ban, malam Lailatul Qodar, hal semacam itu sebatas tradisi, tidak terkait dengan agama. Tidak bisa dianggap syariat, sebaliknya tidak bertentangan dengan ushul al-din. Sebab hukum haram terjadi jika ada pengakuan Syariat pada suatu yang bukan Syariat. Tradisi dan sejenisnya hanya dikategorikan Mahbubah(disukai) dan Mabhudloh (dibenci) dan ini disepakati ulama.

Dalam pada itu, maulid yang dinilai dari satu sisi kuranglah tepat. Memaknai maulid secara redaksional hanya akan menjadikannya momen yang setahun untuk sekali dikenang. Namun, maulid –dalam arti tidak terbatas- mengajak untuk merenungi pakerti yang selama ini terkesa amoral, hedonis, dan konsumerisme untuk kembali pada tatanan yang bermartabat dan bernorma-etika.

Dengan demikian, maulid dijadikannya tidak sekedar ritual kosong. Melainkan penghayatan ritual yang bersinergi dengan tradisi. Sehingga bagi mereka maulid adalah momen sakral yang tidak mungkin terlewatkan. Lebih dari itu, maulid adalah sikap, norma, dan berakhir dengan pencapaian. Dalam arti pencapaian, bukan pencarian. Pencapaian dalam menerjemahakan maulid sebagai sebuah keberhasilan. Bukan pencarian dalam keberhasilan, karena hal tersebut hanya akan berputar tanpa ujung yang pasti. Dan, sekali lagi, maulid adalah  sikap mawas diri atas pencapaian kurang sempurna untuk lebih beryukensi pada keberhasilan sesungguhnya.

* Penikmat Kitab Kuning. Santri Lirboyo, Kediri.

Comments