Lawang Sanga, Gerbang Keraton yang terlupakan…

by Cirebon Heritage West Java on Friday, May 25, 2012 at 9:14pm

Terhimpit diantara rumah-rumah penduduk yang berdiri sesak dengan gang-gang sempit disekeliling-nya, Lawang Sanga seolah tak lagi memperlihatkan keanggunannya. Bangunan yang dahulu menjadi pintu gerbang masuk utama ke Keraton dari arah perairan ini semakin merana karena beberapa bagian-nya sudah runtuh, rusak dan bahkan hilang tak berbekas. Jalan inspeksi sepanjang Kali Kriyan juga seolah menenggelamkan bangunan ini karena permukaan lantai menjadi lebih rendah dari jalan di sekitarnya. Belum lagi ketidak pedulian masyarakat sekitar untuk memelihara kebersihan lingkungan menjadi faktor utama makin kumuhnya kawasan ini. Lawang sanga masih berdiri menghadap langsung ke dermaga Kali Kriyan, hanya saja gerbang utama perairan  itu sekarang bukan menjadi kawasan dermaga yang sibuk dimana perahu-perahu ditambatkan disana, tetapi berubah menjadi tempat pembuangan sampah dan WC Umum.. sungguh menyedihkan !!!

Lawang Sanga merupakan bangunan bersejarah dan termasuk dalam bangunan cagar budaya. Letaknya di tepi Kali Kriyan di bagian belakang Komplek Keraton Kasepuhan. Bangunan ini mempunyai peranan yang sangat penting pada masa lalu karena tamu-tamu Kesultanan Cirebon yang akan singgah ke istana datang dan pergi dari pintu tersebut. Peranan Lawang Sanga ini tidak hanya dalam bidang sosial ekonomi saja, akan tetapi juga dalam bidang lain seperti kebudayaan, pendidikan dan politik. Pada jaman dahulu Kesultanan Cirebon yang merupakan Kesultanan Islam yang cukup besar telah mengadakan hubungan multilateral dengan negara, bangsa dan kerajaan lain, seperti dari Gujarat, Campa, Cina, Arab dan lain sebagainya. Peranan Lawang Sanga sebagai pintu gerbang Keraton dari arah perairan Laut Jawa ini demikian penting sehingga konon dahulu daerah tersebut dahulu merupakan daerah yang cukup sibuk.

Selain sebagai bangunan penerima dari arah perairan menuju Keraton, Lawang Sanga juga merupakan bangunan simbolis yang berperan pada rangkaian tradisi Syafaran yang dilakukan oleh masyarakat tradisional di Cirebon. Bangunan Lawang Sanga sendiri merupakan bangunan berdinding batu bata dengan pintu yang berjumlah sembilan (lawang = pintu, sanga = sembilan).

Pintu berjumlah sembilan ini secara filosofi merupakan perlambangan dari sembilan lubang yang ada pada tubuh manusia. Di dalam kehidupan manusia, kesembilan lubang tersebut harus selalu dijaga agar tetap bersih. Manusia harus memfungsikan kesembilan lubang tersebut menurut ketentuan dan kepatutannya sehingga nantinya akan memperoleh derajat yang mulia.

 Bangunan Lawang Sanga mempunyai gaya arsitektur yang unik karena merupakan perpaduan dari berbagai unsur budaya, yaitu Hindu, Eropa dan Cina. Konstruksi atap bangunan berbentuk atap tajug akan tetapi tidak didukung oleh konstruksi kuda-kuda. Konstruksi atap berdiri di atas gunungan (sopi-sopi) dengan bentuk lengkung lancip diatasnya (berbentuk kujang), dengan bagian serambi depan dan belakang ditopang oleh dua buah sekur yang mempunyai gaya yang hampir sama dengan sekur-sekur pada bangunan Cina. Konstruksi tajug yang berbentuk piramid berdiri diatas sekur, sehingga gaya beban dari kostruksi atap tidak ditopang oleh dinding dan gunungan, akan tetapi disalurkan melalui sekur dan tiang kolom. Konstruksi atap terbuat dari kayu dengan penutup atap dari genteng. Sedangkan di bagian dinding terdapat daun pintu yang cukup besar terbuat dari kayu.

Bagian keliling bangunan berupa tembok batu bata dengan perlubangan dinding berbentuk lengkung setengah lingkaran. Bagian inilah yang disebut sebagai lawang atau pintu. Jumlah pintu tersebut adalah 9 dengan pembagian sebagai berikut : 1 pintu gerbang utama yang mempunyai daun pintu, 2 pintu merupakan gerbang paduraksa di kiri kanan bangunan, 1 buah gerbang padu raksa di samping kanan bangunan,   2 di sebelah kanan kiri belakang,  dan 3 buah pintu dengan konstruksi lengkung busur di belakang bangunan.

Pada saat ini kondisi bangunan Lawang Sanga sangatlah memprihatinkan dikarenakan minimnya perawatan sehingga beberapa bagian bangunan sudah rusak dan bahkan runtuh. Keadaan ini diperparah oleh adanya pemukiman penduduk yang menghimpit bangunan Lawang Sanga sehingga kawasan tersebut menjadi kawasan pemukiman yang padat. Akses dari Lawang Sanga ke Keraton telah tertutup oleh pemukiman padat, sehingga untuk mencapai Keraton kita harus menyusuri gang-gang sempit diantara pemukiman penduduk.

Di kiri kanan bangunan Lawang Sanga tersebut dahulu terdapat gerbang paduraksa. Pada saat ini salah satu gerbang tersebut konstruksi atapnya sudah runtuh, sedangkan gerbang yang satunya sudah tidak bersisa sama sekali. Gerbang di samping kanan dengan dua arca Singa Barong berwarna putih di depannya, kondisinya juga sudah tidak baik lagi. Di sekeliling bangunan Lawang Sanga sekarang dibatasi oleh dinding tembok batu-bata untuk membatasinya dengan pemukiman penduduk. Akan tetapi tembok keliling yang sebenarnya yang terdapat di sekitar Lawang Sanga tersebut, sebenarnya menjadi satu kesatuan dengan tembok Keraton. Di bagian belakang kami juga menemui adanya gerbang Candi Bentar yang di bagian kiri dan kanannya terdapat arca berbentuk ular naga. Sayang sekali bagian kepala arca tersebut dua-duanya juga sudah tidak utuh lagi.

Menurut penuturan dari Bapak Suari, Kuncen Lawang Sanga, pada waktu beliau kecil di bagian sisi kanan bawah Lawang Sanga tersebut dahulu terdapat terowongan yang menghubungkan sungai dengan Keraton.  Jalan tersebut tembus ke Balong Gede yang terletak di bagian belakang Keraton Kasepuhan. Dikarenakan adanya pendangkalan maka lama kelamaan lubang terowongan tersebut akhirnya tertutup dan sekarang ini sudah tidak terlihat lagi.

Kondisi di depan Lawang Sanga saat ini telah diperkeras dengan jalan beraspal, sedangkan akses menuju ke sungai dibuat turap berundak. Di depan turap tersebut menjadi tempat pembuangan sampah, sehingga kawasan tersebut menjadi kotor dan bau. Sedangkan akses pejalan kaki menuju gerbang Keraton tertutup oleh pemukiman penduduk. Bahkan penduduk setempat memanfaatkan ruang di sisi dinding Keraton sebagai tempat menjemur pakaian.

Agaknya perlu dipikirkan lagi untuk merelokasi pemukiman di sekitar Lawang Sanga, jika kawasan tersebut akan dikembangkan sebagai Kawasan Wisata, sekaligus mengembalikan fungsi bangunan sebagai Gerbang Utama Keraton dari arah perairan Laut Jawa.

Dengan kondisi diatas maka penting adanya usaha penataan kembali dengan merehabilitasi dan merevitalisasi kawasan tersebut mengingat kawasan tersebut merupakan kawasan cagar budaya yang perlu dipelihara dan dilestarikan keberadaannya.

Comments