Ki Wentar “ Sang Maestro Legendaris “ Topeng Cirebon

Topeng Cirebon (sumber: pesonabudayaku.blogspot.com)
Keberadaan kesenian Topeng  secara historis sudah dikenal cukup lama dikalangan masyarakat Cirebon.  Konon keberadaan kesenian ini berkembang semasa penyebaran agama Islam masuk di Jawa Barat, pada zaman kejayaan Kesultanan Cirebon dibawah pemerintahan Sunan Gunung Jati  (1479-1568).  Sejak saat itulah kesenian topeng dibina dan ditingkatkan menjadi kesenian milik Keraton Cirebon  serta berfungsi  sebagai media dakwah Islam sekaligus sebagai sarana upacara adat dan hiburan bagi masyarakat Cirebon dan sekitarnya.   Menurut beberapa keterangan lain, seperti disebutkan oleh Wigandi Wangsaatmadja bahwa topeng tumbuh dan hidup serta berkembang dikalangan masyarakat Cirebon dan sekitarnya sebelum agama Islam masuk, selanjutnya atas peran Sunan Kalijaga lah yang selanjutnya memanfaatkan terian ini sebagai sarana dakwah untuk menyebarkan luaskan agama Islam.  RMP. Koesoemowardjojo dalam buku “Kaweruh Topeng” menerangkan bahwa kesenian topeng diciptakan oleh Sunan Kalijaga, lebih lanjut  buku ini menjelaskan mengenai  seluk  beluk topeng dari awal pembuatannya yang konon hanya berjumlah 9 buah tanpa dicat kemudian ditambah 20 buah dan selanjutnya ditambah lagi menjadi 40 buah.

Banyak kalangan yang berpendapat bahwa Cirebon merupakan daerah pusat penyebaran topeng  yang kemudian mempengaruhi beberapa kesenian diwilayah sekitarnya di Jawa Barat, seperti daerah Priangan meliputi Sumedang dan Bandung,  Subang, Karawang, hingga Banten.  Disisi lain Sudjana Arja (Alm) pernah mengatakan bahwa kesenian topeng yang berkembang  dimasyarakat Cirebon sudah dikenal pada pertengahan abad 16.   Sudjana Arja (Alm)  meyakini bahwa cikal bakalnya tari topeng Cirebon berasal dari Kerajaan Jenggala (Jawa Timur). Waktu itu keberadaan kesenian ini memilki peran sebagai tari kebesaran dan hiburan dikalangan kerajaan. Karena terjadi perebutan kekuasaan dikalangan kerajaan, sehingga mengakibatkan kesenian berpindah dari satu tempat ke tempat lain,  pada akhirnya  peran Sunan Kalijaga memanfaatkan kesenian ini dengan gerakan dan nafas ajaran Islam.

Setelah Kesultanan Cirebon dijajah Belanda sejak tahun  1681, keberadaan kesenian Cirebon, demikian juga kesenian lain mengalami masalah yang cukup memprihatinkan akibat aturan Kolonial Belanda terhadap peran keraton-keraton Cirebon, terutama mengenai pengelolaan keuangan dan status keraton yang tidak lagi berperan sebagai pengelola pemerintahan karena diambil alih oleh Belanda.

Konon menurut Elang Yusuf Dendabrata ( alm) dari keraton Kacirebonan,  akhirnya tidak sedikit seniman- seniman keraton kemudian terpaksa hengkang keluar tembok keraton.  Selanjutnya pada abad  XX  bermuculan beberapa grup topeng  yang terdapat dibeberapa desa di Cirebon dengan beberapa versi  atau gaya yang berbeda satu sama lainnya. Sejak itulah keberadaan tari topeng sudah menjadi milik rakyat khususnya kultur budaya Cirebon mulai dari Losari hingga ke wilayah Barat, meliputi Kabupaten Cirebon, Majalengka, hingga Karawang.

Di Cirebon terdapat beberapa tokoh yang memiliki peran dalam menyebarkan kesenian topeng disamping keberadaan Sunan Gunungjati dan Sunan Kalijaga, misalnya peran Sunan Panggung yang kemudian mewariskannya kepada pengikut  setianya  Pangeran Bagusan, Ki Buyut Trusmi dan Pangeran Losari.  Peran Tokoh-tokoh inilah kemudian melahirkan seniman-seniman besar di Cirebon.

Menurut catatan Wigandi Wangsaatmadja pada abad 15 terdapat empat orang tokoh topeng terkemuka pada saat itu, yaitu Ki Kawitan, Ki Mi’un, Ki Bluwer, dan Ki Gumer.  Konon Ki Gumer ini lah yang berhasil mengajarkan tarian topeng kepada tiga rekannya tadi. Disamping itu Ki Gumer juga mewariskan keahlian di bidang seni tari topeng kepada putra-putranya seperti Ki Koduk, Ki Konyar, Ki Gede Mita (Semita).  Selanjutnya Ki Koduk mewariskan topengnya kepada tiga anaknya yaitu, Ki Giwang, Ki Gilap dan Ki Gunteng.

Sedangkan Ki Gede Semita mewariskan ilmu menarinya kepada sebelas orang putranya dan diantaranya adalah Ki Konya atau Ki Kudung kemudian lebih dikenal dengan sebutan Ki Wentar. Sejajar dengan Ki Koduk , Ki Konyar dan Ki Gede Semita di Wilayah lain adalah Ki Dukat.  Konon Ki Dukat inipun dapat mewariskan kepiawaian menarinya kepada 6 orang putra putranya diantaranya , Ki Sela, Ki Koncar (Koncer), Nyi Sudung, Nyi Sarni (Istri Ki Wentar), yang melahirkan tokoh-tokoh penari besar seperti  Nyi Mini,  Nyi Dasih (Nesih),  Ki Saca,  Nyi Ami,  dan Nyi Sujinah  ( Nyi Suji).  Putri terakhir dari Ki Dukat adalah Nyi sarinot.

Dari beberapa tokoh yang dikemukakan tadi,  Ki Koncar  lah yang banyak memberikan pengaruh perkembangan tari topeng di Cirebon dan Priangan.   Sementara Ki Kawentar (Wentar) banyak memberikan pengaruh cukup besar terhadap perkembangan berikutnya. Peranan kedua tokoh ini begitu melegenda terutama bagi perjalanan perkembangan seni tari, khususnya di daerah Priangan yang pernah beliau jalani pada saat perjalanan ngamen (bebarang).  Toto Sudarto  dalam tesisnya “Topeng Babakan Cirebon” 1900-1990 menggambarkan peran Ki Wentar dan Ki Koncer, bahwa kedua tokoh ini disamping  mengadakan perjalanan ngamen keliling,  mereka juga memberikan pelajaran kepada siapa saja yang menginginkannya. Tokoh  yang pernah belajar  kepada Ki Wentar  dan Ki Koncer adalah R. Gandakusumah atau lebih dikenal dengan sebutan Aom Doyot, beliau adalah seorang pejabat  asal Sumedang  yang memiliki peran membenahi tari tayuban secara tertib dan sopan, dan proses awalnya dimulai dari belajar tari dari dua tokoh tadi.

Tokoh lain yang pernah menjadi murid Ki Wentar adalah R. Sambas Wirakusumah yang sengaja mengundang Ki Wentar dan Ki Koncer ke kediaman pribadinya di Rancaekek.   R. Sambas inilah yang kemudian  mendirikan kursus tari “Wirahmasari” pada tahun 1925.   Disamping itu Ki Wentar pernah menyusun tari  (1918), yang pada saat itu diberi judul tari pamindo campuran (kencana wungu ).   Tari ini  memperlihatkan campuran dari berbagai gerak tari topeng Cirebon yang menggambarkan karakter  Anjasmara, Layang Seta, Layang Kumitir dan Menak Jingga.  Selanjutnya tarian ini dikenal dikalangan  seniman Priangan dengan sebutan Topeng Koncaran.

Pada tahun 1940-an tari topeng Cirebon mulai disenangi oleh  golongan menak atau para bangsawan, terutama golongan menak Sumedang.  Beberapa guru tari pada saat itu  memiliki peran besar adalah keturunan Ki Wentar dan Ki Koncer, seperti  Nyi Dasih dan Nyi Ami.  Salah seorang bangsawan yang pernah mempelajari tari Topeng Cirebon diantaranya  R. Ono Lesmana Kartadikusumah.  Kemudian beliau mengembangkan tarian dalam bentuk baru dan dibakukan dilingkungan Padepokannya.   Karena kepiawainnya dalam menari Nyi Dasih sempat mengajar  di beberapa Kota di Jawa Barat  seperti di Bandung dan Jakarta. Salah seorang muridnya bernama Enoch Atmadibrata, Nugraha Sudireja,  Juragan Rancaekek, Neng Heni, neng Tuti dari Jakarta dan lain-lain.

Konon dari sekian banyak murid dari Nyi Dasih, salah seorang muridnya bernama Nugraha Sudireja dapat menyusun beberapa tarian yang bersumber dari Topeng Cirebon yang pernah dipelajari diantaranya;  topeng Klana,  Topeng Tumenggungan (1960),   tari topeng Patih (1961) dan Topeng KencanaWungu (1973).

Gambaran historis singkat ini masih sangat jauh dari harapan selayaknya sebuah kajian fotret perjalanan biografi seniman besar seperti Ki Wentar dan Ki Koncar, banyak hal lain yang belum terungkap yang dapat dijadikan sebagai bahan renungan kita bersama, sehingga perlu penelusuran lebih rinci lagi.

Tulisan ini juga  sekaligus ingin menekankan betapa pentingnya proses pewarisan keseniman secara total, karena proses ini akan memberikan harapan wajah kesenian kita dimasa yang akan datang.  Totalitas seniman besar seperti Ki Wentar dan Ki Koncer memiliki peran yang sangat besar disamping dapat memariskan kepiawainnya terhadap anak cucunya ,  atas peran beliau juga dapat mendorong  serta  merangsang lahirnya karya- karya monumental yang diterjemahkan oleh para murid-murid yang kreatif seperti ;  R. Gandakusumah, R. Sambas Wirakusumah, R. Ono Lesmana Kartadikusumah, Enoch Atmadibrata,  Juragan Lurah Rancaekek,  Nugraha Sudireja dan lain-lain.   Sehingga layak kiranya julukan untuk Ki Kudung disebut dengan Ki WENTAR karena namanya begitu Kawentar (mashur)  dijagat kepenarian dikalangan masyarakat Cirebon dan Priangan.  Demikian juga untuk julukan Ki Koncer yang lebih dikenal dengan Ki KONCAR, penghargaan julukan  ini karena tokoh ini begitu Kakoncara (terkenal) kepiawaiannya. ( penulis adalah pelaku seni dan  budaya di Cirebon )

Pangeran Panggung
SILSILAH KETURUNAN TOPENG PALIMAN AN: KI WENTAR ALIAS KUDUNG
Kling teng riki jeh...
Raden Nurkaman
Ki Bluwer
Ki Kertawangsa
Ki Bayalangu
Ki Kembang
Ki Hangga Seraya
Ki Tarum
Ki Rangkep
Ki Sentor
Ki Kolab
Ki Gedog
Ki Semita
Ki Kudung alias Wentar
Nyi Sarni
Nyi Mini
Nyi Dasih/Nesih
Ki Saca
Nyi Ami
Nyi Sujinah/Mi Suji


sumber:

Comments

  1. Asslam... puten pak menurut Dalang Karta cucu Nyai Mini , Ki Koncer itu tdk ada Ki koncer ya ialah Ki Wentar ,orang a hanya 1, Ki Wentar disebut jg Ki Koncer oleh orang2 priangan.

    Dan mnrut dalang karta yg pernah nyai mini katakan kata koncer pada ki wentar itu artinya belend /rata rata karana tarian ki wentar masih menggunakan gerakn peralihan d setiap pergantian gerak a

    ReplyDelete

Post a Comment