Sedikit masyarakat
mengetahui pernah berdiri keraton di daerah timur Cirebon, bernama Keraton
Gebang Hilir. Keraton tersebut didirikan abad ke-14 oleh Panembahan Wirasuta,
cucu Sunan Gunung Jati dari Nyai Tepasari. Terbatasnya referensi tentang
eksistensi keturunan Wirasuta, melahirkan istilah “kepaten obor” atau hilangnya
sejarah bagi generasi adik Pangeran Mas itu.
Pada Rabu, 26 November
2008, Adi Kencana (39), keturunan Keraton Gebang menceritakan, saat terjadi
kekacauan di wilayah Cirebon akibat penjajahan Belanda, beberapa keturunan
Sunan Gunung Jati hijrah ke berbagai daerah di Cirebon. Salahsatunya Panembahan
Wirasuta ke daerah Gebang.
Dari cerita sejarah
rakyat waktu itu, berdirilah tenda-tenda pasukan pengawal Wirasuta sepanjang
Kanci hingga ke timur. Akhirnya, Wirasuta memutuskan membangun keraton dan
menetap di Gebang. Keraton itu berdiri di pinggiran sungai yang sekarang
menjadi bagian dari Gebang Udik, bersebelahan dengan masjid tua Kauman.
Keturunan Wirasuta
sendiri tak berusaha mengekslusifkan diri jadi bangsawan keraton. Mereka
menikah dan berbaur dengan kalangan non ningrat, akibatnya keturunan Wirasuta sulit dilacak silsilahnya
secara referensial yang valid. Pengakuan hanya datang secara personal, termasuk
soal penyusunan silsilah dibikin sederhana seperti dilakukan Adi.
Adi dapat bundel
silsilah itu dari lemari uwak, beberapa waktu setelah beliau wafat. Dia kaget,
ternyata dirinya termasuk keturunan Keraton Gebang.
Dia berharap, demi
pengetahuan sejarah, perihal keberadaan Keraton Gebang mesti terpublikasikan
secara proporsional. Adi membenarkan pernah terjadi huru-hara hingga
menimbulkan persepsi “Cirebon peteng” atau sejarah gelap Cirebon yang hampir
tak terungkap. Tapi, itu tak boleh menutupi kenyataan turunan Wirasuta yang masih
ada hingga kini.
Pembina Yayasan
Panembahan Wirasuta yang juga generasi ke-12, Rd H Tossin Soenardi SH juga
menceritakan, sampai detik ini memang sulit mendapatkan fakta sejarah ilmiah
menyangkut Keraton Gebang serta keturunannya. Sumber data hanya pengakuan
individual. Tak usah berharap pada buku Babad Cirebon, karena dinilainya 50
persen subjektif dan 20 persen imajinatif alias tidak ilmiah.
Peninggalan fisik
Keraton Gebangselain Masjid Kauman dan kompleks makam pengawal Wirasuta, adalah
seonggok batu persis di Demak. Wirasuta sendiri dimakamkan di kompleks
pemakaman Gunungjati bersama kakeknya, Syarif Hidayatullah. Sepuluh tahun lalu
pernah ditemukan rangkaian perhiasan seperti mahkota. Benda temuan itu kemudian
disimpan di museum sejarah di Jakarta sampai sekarang.
Penelitian serius
terkait Keraton Gebang pernah coba dilakukan seorang mahasiswa doktoral dari
Jerman. Disertasi yang disusun mulai 2005 itu hingga kini tak pernah ada
kabarnya lagi.
Yayasan Panembahan
Wirasuta didirikan pada 1987. November 2006, yayasan itu melaksanakan acara
silaturahim akbar ke-20 warga Panembahan Wirasuta Pangeran Sutajaya. Kesempatan
itu dihadiri 1.000 orang, sebagian mereka bahkan membawa susunan silsilah
sederhana tentang pengakuannya terkait hubungan keluarga dengan Wirasuta. Dalam
perkembangannya dahulu, keturunan Wirasuta ada yang berdakwah sampai ke daerah
Fakfak, Papua. Dari sanalah kemudian lahir generasi muslim pertama di tanah
Cendrawasih. Keturunan Wirasuta di Fakfak itu kemudian dikenal bermarga Arfan.
Aktivitas dakwah
selanjutnya menyentuh Tidore, di sana akhirnya tumbuh masyarakat Islam bermarga
Faruk.
Penyebaran generasi
Wirasuta rupanya sampai ke luar negeri, tepatnya di Cape Town, Afrika Selatan.
Di sana terdapat 200 individu komunal Wirasuta.
Kini aktivitas Yayasan
Panembahan Wirasuta terfokus pada dunia pendidikan dan keagamaan. Beberapa
tempat pendidikan yang dikelola keluarga turunan Wirasuta antara lain SMK
Ciledug, Pesantren Cikahuripan, Pesantren Cihideung di Ciawigebang, Pesantren
Sengon di Brebes dan Pesantren Zakiyudin di Gebang. Semoga ke depan banyak
fakta baru untuk membuka tabir sejarah peteng di Cirebon.
Sumber: Klik teng riki jeh...
Dimana saya bisa berinteraksi keluarga/keturunan nya
ReplyDelete