In Memoriam Mimi Tursini (Wafat 20 Februari 2013)


Maestro Tari Topeng Mimi Tursini Kini Tiada:
Kisah Kelam dan “Babak Belur” Seniman Cirebon
Oleh Sumbadi Sastra Alam*


KELAM LANGIT di atas hamparan bumi kampung Gempol Palimanan Rabu pagi (20/2) menghantar kepergian maestro tari Topeng Palimanan Mimi Tursini – yang wafat dalam usianya yang renta dan sakit sepuh. Tak ada satupun pejabat kebudayaan atau pemerintah kabupaten Cirebon yang hadir dalam prosesi pemakaman maestro Tari Topeng. Hanya kerabat dan keluarga dekat saja yang mengiringi kepergian Mimi Tursini terakhir. Padahal selama ini Mimi Tursini dan ibunya almarhumah Mimi Sudji, telah mengharumkan daerah Cirebon dengan kepiawaiannya menari topeng Palimanan.

Terasa duka panjang dalam benakku. Padahal belum genap satu tahun , aku masih menyaksikan kepiawaian Mimi Tursini menari di atas panggung papan di tengah gang sempit . Mimi Tursini - Nenek berusia 75 tahun saat itu - begitu kokoh menancapkan kuda-kuda kakinya di atas panggung papan di depan rumahnya. Meski digerogoti usia yang renta, tubuh Mimi Tursini- penerus sekaligus pewaris maestro tari topeng Palimanan Mimi Sudji (almarhumah) tak bergeming. Tubuhnya nampak tangguh menari tarian topeng Panji khas Palimanan Cirebon. Sesekali dengan penuh kehati-hatian ia gerakkan tangan dan kepalanya sambil ditimpali hiruk pikuk tetabuhan gamelan.

Memang kala itu aku masih bisa menatap wajahnya Mimi Tursini yang pucat dan kerut keriput nya begitu kentara. Namun sekejap berubah rona raut mukanya saat Mimi Tursini mengenakan kedok topeng Panji. Wajah topeng yang dipulas cat putih itu menyatu dengan gerak tubuhnya yang bersahaja. Mimi Tursini piawai menyuguhkan tari topeng Panji seperti sosok manusia yang penuh bijak.Kepiawaian Mimi Tursini menarikan topeng Panji sehebat ibunya maestro penari topeng Palimanan almarhumah Mimi Sudji.

Kini Mimi Tursini telah tiada. Kasi Kesenian Disporabudpar Kabupaten Cirebon Uuk Sukarna yang datang melayad sebelum jenasah dikubur – mengaku memendam rasa duka yang mendalam. Ia merasa kehilangan sosok maestro tari topeng Palimanan yang handal. “ Nopember tahun 2012 lalu, saya mengajak mimi Tursini tampil di taman Budaya Bandung dan tengah menggarap dokumentasi topeng Palimanan, naumn belum tuntas,” papar Uuk Sukarna.

Yang menyayat hatiku, sejak sosok almarhumah Mimi Tursini masih malang melintang di dunia tari topeng Palimananan, tak pernah tersentuh perhatian pihak berwenang. Sebagai pewaris sah topeng Palimanan dari keturunan asli almarhumah Ibu Sudji , tak pernah mendapat bantuan apapun dari pemerintah daerah setempat. Padahal semasa hidupnya, almarhumah Mimi Tursini tak diragukan lagi perjuangannya mempertahankan keberadaan topeng Palimanan hingga kini tetap ada. Almarhumah Mimi Tursini melangkah melalui perjalanan yang panjang dan tak pernah terhenti hingga tutup usianya. Kusaksikan dengan mata kepadaku sendiri, saat masih ada, Mimi Tursini begitu setia secara nyata, mengasuh dan mendidik sekitar 20 anak yang masih sekolah di sekolah dasar di sanggarnya.

Sejak usia 12 tahun, Mimi Tursini mahir menari. Bahkan sekitar tahun 1950 an, diajak ibunda Sudji keliling bebarang atau mengamen dari kampung ke kampung hingga menyeberang kabupaten lain menjadi penari topeng Palimanan. Sebagai penari kecil saat itu bebarang bukan semata untuk mengais uang, tapi lebih penting menggodok diri hingga matang kepiawaian saya dalam menari di depan penonton. Itulah perjalanan hidup topeng palimanan yang disebut “babakdeng”. “ Waktu itu mengamen menari topeng satu babak dibayar satu gedeng padi. ” tutur Mimi Tursini suatu ketika ditemui penulis di sanggar tari Sudji Mekar Harum yang sekaligus di rumah kediamannya di sebuah gang sempit di kampung gempol Palimanan Kabupaten Cirebon.

Belum jelas, nanti siapa yang bakal melanjutkan keberlangsungan sanggar tari almarhum Mimi Tursini. Meski memang sanggar tarinya sebenarnya bukan tempat yang layak. Aku masih sempat mendengar cerita langsung radi almarhumah ketrika masih sehat, bahwa dirinya mengaku tak pernah lelah mepertahankan keberadaan Tari Topeng Palimanan, tanpa bantuan atau perhatian pemerintah daerah. Bahkan untuk tetap pertahan hidup dan menjaga agar topeng Palimanan tidak punah tertelan jaman, Mimi Tursini harus rela menanggung ekonomi keluarga yang babak belur. Himpitan ekonomi yang kian rapuh terus mencekik kebutuhan hidup keluarganya.

Sungguh, walau ekonomi keluarganya babak belur, saat itu mimi Tursini tak pernah mau beranjak meninggalkan profesinya sebagai pelatih tari topeng Palimanan, baik melatih disanggarnya maupun ke tempat-tempat lain walau tak mendapat imbalan yang layak. Kini tinggal tersisa harapan murid-murid almarhumah mimi Tursini yang begitu besar berharap mendapat sedikit perhatian pemerintah terhadap sanggar tari yang didirikan gurunya almarhum Mimi Tursini, semata demi kelestarian seni tari topeng palimanan yang nyaris punah.

Boleh jadi, masa depan seni tari topeng Cirebon mencemaskan. Nasib seniman dan kesenian topeng Cirebon saat ini bergeming. Dari jaman ke jaman, kehidupan ekonomi keluarga para pelaku kesenian topeng tak pernah berubah membaik alias makin babak belur atau nyungseb. Kini Cirebon kehilangan satu lagi aset pewaris budaya lokal. Mimi Tursini wafat sakit tanpa ada uluran tangan pihak berwenang membantunya. Ia dan keluarga berjuang sendirian. Padahal sesungguhnya seni Tari topeng Cirebon dengan seabreg gaya, telah menjadi asset budaya Jawa Barat. Topeng Cirebon selayaknya bisa menjadi sumber kehidupan bagi senimannya, Karena topeng Cirebon adalah salah satu jenis karya seni budaya yang dapat dijadikan sebagai sebuah industri kreatif. Tapi sampai saat ini tak ada yang mau peduli terhadap nasib mereka. Pemerintah Kabupaten Cirebon hanya bisa mengakui keberadaannya, namun tak mau menghidupi mereka.

Ya, topeng Cirebon dibiarkan hidup segan mati tak mau. Akankah terkuburnya mimi Tursini menghadap ke haribaan Allah Swt, dapat membangkitkan babak baru nasib penari dan kesenian topeng atau tetap babak belur ?. Pejuang tari topeng Palimanan Cirebon yang tangguh tak bisa kita saksikan kepiawaiannya lagi. Selamat Jalan Mimi Tursini. Semoga ada generasi masa depan yang tetap kokoh menancapkan kaki di bumi Cirebon untuk setia mendekap warisan budaya yang luhur.

Pengurus Lembaga Basa Lan Sastra Cirebon (LBSC) & Aktivis Seni Budaya Cirebon

Tulisan ini dimuat di Kabar Cirebon edisi 23 Februari 2013

Comments