Oleh: TOTO AMSAR SUANDA (Artikel 1999)
Belum terlalu lama kita kehilangan seorang tokoh pembuat kedok terbaik
di daerah Indramayu (Desa Gadingan-Kec. Sliyeg), Royani (65) namanya. Walaupun
ia bukan satu-satunya pembuat kedok yang ada di daerah Indramayu, namun jika
dibandingkan dengan yang lain ia memiliki keunggulan tersendiri. Kedok hasil
buatannya amat halus, detail anatominya terukur dan masing-masing karakter
kedok buatannya memancarkan daya hidup.
Daya hidup kedok itu akan lebih terasa saat ditarikan dalang topeng dan daya
hipnotiknya bisa memperdaya siapa saja yang menonton.
Ia “pulang” tanpa meninggalkan generasi penerus yang bisa
menggantikannya. Sunewi, anak perempuan satu-satunya baru sampai pada tahap
pemula. Ia perlu belajar lebih banyak dan lama untuk dapat menandingi ayahnya.
Satu-satunya harapan yang bisa diandalkan untuk meneruskan profesi ini ada di
keluarga dalang Warsad dan anak-anak pengukir di Sangar Mulya Bhakti di Desa
Tambi Kidul (terutama Suparma dan Rakidi). Mudah-mudahan ada yang mau
menggantikannya. Selamat jalan Royani. Semoga di alam sana mendapat ketenangan
dan ampunan Allah s.w.t.
***
Pada hari Sabtu, 19 Juni 1999 sekitar pukul sepuluh, telpon di rumah
saya berdering. Isinya berita duka, Sawitri meninggal dalam usia 76 tahun.
Berita itu benar-benar amat menyesakkan saya dan mungkin juga teman yang lain.
Betapa tidak, sebab kini kita telah
kehilangan salah seorang tokoh yang dedikasinya pada topeng Cirebon --khususnya
topeng Losari—tiada taranya. Ia adalah tokoh panutan yang bisa dicontoh generasi
muda saat ini. Kegigihannya mempertahankan eksistensi topeng Losari sangat luar
biasa. Terpaan jaman yang amat deras ditambah dengan kondisi kehidupan
masyarakat yang tak banyak lagi mendukung keberadaan topeng di Losari, tak
melunturkan niatnya untuk terus menjaga kelestarian warisan leluhurnya.
Dukungan yang datang lebih banyak dari perorangan, Rujito, Endo Suanda dan
kawan-kawan lainnya, semakin menambah keteguhan hatinya untuk terus memelihara
topeng Losari yang digelutinya sejak kecil. Di sanggarnya “Purwa Kencana”, di
daerah Astana Langgar, yang tak terlalu luas, ia ajar cucu-cucunya (Anani,
Tanengsih, Kartini dan lain-lain) sampai tuntas. Jadilah mereka penerus yang
diharapkan menjadi andalan masa depan topeng Losari.
Tentang Sawitri
Lahir sekitar tahun 1923 dari keluarga
seniman. Sumitra (ayahnya) adalah dalang
terkenal di Losari saat itu. Ia anak
ketujuh dari sebelas bersaudara. Nama kecilnya Ranis, sebuah nama yang manis.
Entah kapan namanya kemudian berubah jadi Sawitri. Belajar nopeng sejak umur 10
tahun dari Duman kakeknya dan dari kakak-kakaknya. Menikah dalam usia yang
sangat muda, 11 tahun. Suami terakhirnya Pade berasal dari Makasar dan sekitar
tahun 50-an ia bersama suaminya menetap di Palembang selama 15 tahun. Pada masa
inilah ia tak melibatkan diri dalam dunia kesenian (topeng). Sementara itu
topeng Losari dikomandani oleh Dewi,
kakaknya.
Ia kemudian pulang ke Losari
(tahun 1965) ketika dikabari kakaknya
tercinta, Dalang Punjul, meninggal dunia.
Tanpa dicerai suaminya (sampai akhir hayatnya) dan atas persetujuan
suamninya, ia meminta untuk tak kembali ke perantauan. Kepulangannya ke Losari,
selain berduka atas meninggal kakaknya,
sebenarnya adalah juga untuk
melampiaskan kerinduannya akan topeng. Saat itulah ia kembali nopeng bersama
Dewi kakaknya.
Ketika Dewi meninggal, Sawitri otomatis menjadi tokoh sentral topeng
Losari. Kendali topeng ada padanya, tanggung jawab ada di pundaknya. Karena
itulah ketika masyarakat di sekitarnya tak lagi punya atensi terhadap topeng
yang sekaligus berakibat pada berkurangnya tanggapan, ia kemudian membanting
setir untuk mengalihkan keterampilannya melalui
suatu pembelajaran yang terstruktur. Alih keterampilan ini dalam
lingkungan topeng sebagai suatu yang tak lazim sebab biasanya alih keterampilan
itu secara natur berjalan melalui “guru
panggung”.
Berkenalan dengan Sawitri sungguh menyenangkan. Sikapnya terhadap topeng
sangat konservatif, ia sangat teguh memegang “pakem” sehingga ada kesan
bahwa kemurnian topeng Losari itu tak
ingin terganggu. Ia seniman tulen yang
sadar betul terhadap profesinya sehingga seluruh hidupnya seolah-olah
ditumpahkan hanya untuk dunia topeng. Dalam keadaan yang sudah tak berdaya,
menjelang akhir hayatnya, ia masih sempat menyuruh cucunya untuk membereskan
pakaian topeng. Ia membayangkan bahwa besok ia akan menari di suatu tempat.
Rencananya memang di awal Juli ini topeng Losari akan dipentaskan di Jakarta.
Sawitri memang luar biasa. Kepulangannya ke alam baqa meninggalkan kesan
dan duka yang amat dalam. Kami
benar-benar kehilangan seorang seniman besar topeng Cirebon besar yang reputasinya bukan saja
nasional akan tetapi dunia. Selamat jalan maha guru, Sawitri. ***
Penulis
adalah pemerhati topeng Cirebon
Sumber: Klik teng riki jeh...
Comments
Post a Comment