Oleh Toto Amsar Suanda (Artikel tahun 2010)
Sabtu, 7 Agustus 2010, di tengah-tengah
Festival Topeng Cirebon di Kota Cirebon, setelah Dalang topeng Juni dari
Gegesik baru saja menyelesaikan tari topeng Klana, MC tanpa basa-basi langsung mengucapkan
inalillahi wainailaihi ro’jiun, telah berpulang ke Rakhmatullah maestro topeng
Cirebon, Mimi Rasinah. Saya tersentak, demikian juga teman-teman dan para hadirin.
MC kemudian mendaulat Pangeran Joni untuk memimpin do’a yang dilanjutkan oleh
Elang Panji. Rasinah memang telah lama terkena stroke, tak lama setelah ia
ber-Kupu Tarung dengan Sujana (alm.) di taman Budaya Jawa Barat.
Seperti juga dalang-dalang topeng umumnya,
Rasinah berasal dari keluarga seniman. Ia adalah dalang topeng turunan.
Buyut-neneknya juga dalang topeng. Ayahnya bernama Lastra (dari daerah
Mayahan-Indramayu) adalah dalang wayang kulit dan juga dalang topeng. Dari
ayahnya inilah ia belajar topeng. Ibunya sendiri, Sarminah (dari daerah
Pekandangan-Indramayu), adalah petani. Dari enam bersaudara hanya bertiga yang
menjadi dalang topeng: Rasinah, Karniti dan Murita. Semua saudaranya telah
meninggal.
Seperti halnya dalang-dalang topeng lainnya di
Cirebon, Rasinah mulai belajar nopeng sejak umur sembilan tahun. Pada usia sedini itu ia telah
menguasai seluruh topeng. Pada umur 13 tahun ia mulai dibawa bebarang[1] dan
pada usia inilah ia mulai mendapat panggungan.
Pada umur 14 tahun ayahnya meninggal dunia.
Konon ditembak Belanda. Tahun 40-an ia menikah dengan Tamar (dalang wayang
kulit), pria asal Tugu yang bermukim di daerah Cipunagara-Subang. Dari
perkawinannya lahir dua anak (Muncar dan Saimah). Kedua-duanya meninggal dunia
saat masih kecil. Pada sekitar tahun 50-an, ia menikah lagi dengan seniman
topeng/wayang bernama Amat. Dari perkawinannya dengan Pak Amat ia dikaruniai
empat anak: Warno, Daimah, Diding dan Wacih. Tiga anaknya telah lama
meninggal, dan yang masih hidup adalah Wacih yang kemudian memberinya empat
orang cucu. Salah satu cucunya, yakni Aerli (panggilannya Eli) kini mewarisi
bakat neneknya itu. Satu-dua topeng kini mulai dikuasainya. Pak Amat yang
kemudian menjadi pengendangnya, telah meninggal lebih dahulu (1994).
Berbeda dengan dalang topeng lainnya, Rasinah
tidak saja hanya bisa menarikan topeng, akan tetapi juga jenis tari-tari
lainnya. Pada sekitar tahun 1959, Bupati Indramayu (Dasuki) memanggil guru tari
dari Sumedang, R. Ono Lesmana Kartadikusumah untuk mengajar anak-anaknya (Mami
dan Nenong). Saat inilah ia belajar dan menguasai beberapa tarian dari R. Ono
Lesmana, antara lain: Tari Jayengrana, Tari Samba, Tari Gatotkaca, Tari Aradea,
Tari Adipati Karna, Tari Jakasona dan lain-lain. Ia juga bisa menarikan
tari-tarian karya R.Tjetje Somantri seperti Tari Anjasmara, Tari Sekar Putri
dan lain-lain. Pak Amat pulalah yang mengendangi tari-tarian tersebut, dan
karena kepiawaiannya memainkan kendang, ia kemudian diangkat menjadi pegawai di
lingkungan Pemda Kabupaten Indramayu. Pada sekitar tahun 60-an, Rasinah juga
aktif melatih tari di beberapa tempat dan sekolah: Panti Arjo, SD, SMEA, SMP 1
dan 2, SPG dan lain-lain.
Setelah
masa tuanya tiba, panggungan topeng pun mulai berkurang. Ia kemudian memutuskan
untuk berhenti menari. Ia sendiri menganggap sudah tak pantas lagi untuk
menari. Rasa malu menyelimuti dirinya jika dalam ketuaannya masih terus menari.
Karena panggungan topeng sudah tak diterimanya lagi, ia kemudian mendirikan
grup sandiwara “Harem Jaya” sekitar tahun 1989 dan bubar setelah suaminya,
Amat, meninggal.
Masa kesenimanannya berakhir sudah. Tak
terpikirkan olehnya akan kembali “hidup” sebagai dalang topeng. Masa muda,
yakni masa yang dihabiskannya di panggung, menjadi kenangan manis dan sekaligus
juga pahit. Rasinah, dilupakan orang dan ditinggalkan penggemarnya. Di masa
tuanya, tak seorangpun melirik, apalagi memperhatikan kehidupannya. Ia
benar-benar hanya sebagai Rasinah, nenek tua yang tak berdaya.
Saya bertemu pertama kali pada bulan Nopember
1994. Kala itu tengah mengadakan penelitian bersama Dinas Kebudayaan DKI
Jakarta, mencari benang merah antara
topeng Betawi dan topeng Cirebon. Nama Rasinah saya dapatkan dari
seorang dalang topeng muda asal Tambi, Wangi. Ia bercerita bahwa Rasinah adalah
dalang yang baik. Keterangan tentang Rasinah saya dapatkan juga dari salah
seorang staf Seksi Kebudayaan (Depdikbud) Kabupaten Indramayu. Saya mencari
sesuai dengan alamat yang diberikan mereka.
Ketika saya datang ke rumahnya, ia agak kaget,
bahkan setengah takut.[2] Entah apa yang ada dibenaknya ketika itu, namun
ketika saya mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan, ia baru merasa tenang.
Obrolan pun dimulai. Saya bertanya banyak tentang permasalahan topeng dan juga
tentang pengalaman dia sebagai dalang topeng. Kisah perjalanannya sebagai
dalang topeng amat menarik, sampai
akhirnya saya menawarinya agar mau menari lagi.
Tawaran itu secara spontan ditolak
mentah-mentah. “Alasannya, pertama karena ia sudah tak punya gigi, tak mungkin
bisa untuk menggigit kedok. Kedua, nayaga yang dulu mengiringinya kini tak
tersisa satu pun. Semuanya telah meninggal dunia. Mana mungkin bisa lagi
menari. Ketiga, saya ini sudah tua, sudah tak pantas lagi menari. Malu,
jawabnya dengan tegas. Suatu alasan yang
sangat masuk akal. Namun saya tak kehabisan akal. Kedok yang selalu saya bawa
di kantong (kala itu saya bawa kedok Rumyang), kemudian diperlihatkan dan
disuruh dicobanya. Dengan spontan ia ambil dan terus dikenakannya sambil
memperlihatkan beberapa gerakan. Satu-dua gerakan diperagakan. Saya mulai
terpesona, beberapa gerakan yang diperagakannya menguatkan keyakinan saya akan
cerita kawan-kawan tadi, bahwa ia benar dalang topeng yang baik. Saya terus
membujuknya, setengah merengek, untuk
mau lagi menari, namun ia tetap pada
pendiriannya. Ketika saya memberi jalan ke luar atas alasan yang
dikemukakannya, ia mulai berpikir. Saya katakan, “bahwa kedok masih bisa
digigit. Nayaga bisa dicoba dengan grup topeng Wangi dari Tambi.” Pertanyaan
terakhir yang saya ajukan kala itu: Berapa Mimi mau dibayar? Ia lama terdiam,
sampai akhirnya menjawab lirih: “Kudu satus mah.” Ia minta dibayar seratus ribu
rupiah. Kontan saja saya menyanggupinya. Besoknya ia datang di tambi, di
sanggar Mulya Bhakti, pimpinan Taham. Latihan pun dimulai.
Pertama kali latihan, saya amat kaget karena
jarang sekali seorang dalang topeng yang berbeda grup bisa dengan lancar
diiringi oleh nayaga yang berbeda grupnya (terutama oleh pengendang) yang juga
berlainan grup. Kala itu Rasinah dan nayaga topeng Tambi kelihatan seperti
layaknya sebuah grup yang sudah lama terbina, walaupun memang masih banyak
gerakan-gerakan Rasinah yang belum “terbeli”[3] oleh pengendangnya.
Kelancaran memadukan Rasinah dengan nayaga
Tambi sangat mungkin disebabkan oleh banyak hal. Selain karena mereka adalah
nayaga topeng yang sudah amat terlatih yang selalu manggung bersama dalang
topeng Wangi, juga karena pengendangnya, Tarip, adalah salah
satu pengendang jempolan topeng Dermayon. Di samping itu,
struktur dan pola-pola gerak topeng di Indramayu pada umumnya mempunyai
kesamaan satu sama lainnya. Rasinah sendiri adalah dalang topeng yang serba
bisa. Ia tahu dan bisa menabuh seluruh lagu-lagu topeng, dan pandai juga menabuh kendang. Jika ada artikulasi kendang
yang terasa belum sesuai, ia tak segan-segan memberinya contoh. Rasa iramanya
amat kuat, sehingga ia bisa dengan enak, dan bisa semaunya menurunkan-menaikkan
irama tariannya. Jika ia sudah menari, tariannya terasa bak ombak laut. Sesekali muncul dengan gerakan yang menghentak-hentak (eksplosif), sesekali
muncul dengan lirih. Gerakannya senantiasa berkelindan dengan musik
pengiringnya.
Suatu hal yang paling sulit dalam menarikan
topeng Cirebon adalah gawe jogedan (membuat tarian), demikian kata Rasinah.
Gawe jogedan, sama artinya dengan improvisasi, yakni menarikan vokabuler gerak
topeng seingatnya, apa maunya.
Latihan sehari itu tak terasa. Rasinah seperti
berusaha melampiaskan kerinduannya akan topeng. Ia menari sepuasnya. Topeng
Pamindo saja ditarikannya lebih dari satu jam dan tak sedikitpun ia
memperlihatkan kelelahan. Kekuatan fisiknya
sungguh menakjubkan untuk usia setua dia. Kekuatan fisik Rasinah memang
luar biasa.
Selesai latihan, saya tertegun untuk beberapa
saat. Saya amat terharu melihatnya. Tak terasa ada yang merembes dari mata.
Kemudian saya berbisik kepada Mama (Bapak) Taham: “Ma, saya menemukan harta
karun.”
Awal pertemuan dan latihan itu memang amat
mengesankan. Dari sinilah sebenarnya Rasinah merasa “hidup” kembali. Ia mulai
merasakan ada sesuatu yang membangkitkan dirinya. Ada orang yang
memperhatikannya kembali. Boleh jadi suara gamelan yang senantiasa ditimpali
dengan nyanyian nayaga ala topeng Dermayon itulah yang menjadikan ia berada di
masa lalunya. Rasa sakitnya hilang. Dunia topeng yang yang sudah dilupakannya[4] dan hanya menjadi
kenangan indah, akhirnya kembali menjadi dunianya sendiri dan mulai
menyemangati serta mengobati hidupnya dari sakit-sakitan[5] dan kesepian.
Kepadanya saya janjikan untuk terus mencari kesempatan pentas di lain tempat.
Sejak itu, saya, Endo Suanda, dan Wangi Indriya, secara bergantian
mempromosikan dan memergelarkan topeng Rasinah
di berbagai tempat. Beberapa kali pentas di Bandung (pertama STSI 1995),
Jakarta (TIM) dan dalam perayaan pernikahan keluarga Arifin Panigoro,
Yogyakarta, Surakarta, Bali dan tempat-tempat lainnya. Kini Rasinah telah
enar-benar “hidup” dan kembali ke habitatnya. Topeng kembali jadi sumber
penghidupan dan membantu meringankan
beban ekonominya.[6]
Persoalan penting yang selalu menjadi
kekhawatiran saya adalah, bagaimana agar mata rantai kehidupan topeng Rasinah
itu tetap mengait dan berkelanjutan. Di Indramayu, Rasinah adalah satu-satunya
dalang topeng tua terbaik saat ini. Ia adalah maestro yang tersisa. Sudah
barang tentu kesinambungannya perlu
diusahakan. Hal ini dipandang penting, mengingat bahwa kepunahan topeng itu
secara umum seiring dengan meninggalnya
seniman pelakunya. Perhatikan misalnya kepunahan topeng Palimanan, Kreo, Gujeg
dan lain-lain.
Pada saat itu tak satupun anak-cucunya yang
mau mewarisi keahlian ibu/neneknya.[7] Wacih, anaknya yang bungsu, walaupun
dikatakannya bisa menarikan satu-dua topeng, namun tampaknya tak terlalu
interest. Ia memilih menjadi pekerja harian atas suruhan orang lain (kini jadi
TKI).
Saya hubungi Saini KM, dan meminta dibelikan
tape recorder untuknya. Saat itulah cucunya Aerli (Eli) mulai diajari nopeng.
Hidupnya yang penuh cobaan dan penderitaan,
mengundang iba banyak orang. Suatu saat rumah dan sanggarnya tiba-tiba runtuh. Ia tak punya tempat
berlindung. Untuk membangunnya kembali memerlukan dana yang besar. Namun atas
prakarsa Endo Suanda, sejumlah dana berhasil dihimpun dari berbagai donatur
baik dari dalam maupun luar negeri. Kini rumah dan sanggarnya itu kembali
berdiri kokoh dan ia mulai hidup agak tenang.
Gamelanya mulai lagi berbunyi. Anak-anak mulai berdatangan, belajar
nopeng. Topeng Rasinah kembali berdenyut di tempatnya, Desa
Pekandangan-Indramayu.***
____________
[1] Bebarang artinya ngamen. Dalam khasanah
topeng Cirebon, bebarang adalah salah satu bentuk pertunjukan lama yang kini
telah ditinggalkan. Kecuali dalang topeng dari daerah Sumber (Ciledug), Tengwi
namanya, kini masih melakukannya. Ia bebarang ke daerah Ciawi, Luragung, Ciwaru dan daerah-daerah
lainnya di Kabupaten Kuningan. Bebarang adalah pertunjukan keliling yang
dilakukan manakala musim paceklik tiba.
Mereka berkeliling dari satu desa ke desa lainnya. Berhari-hari lamanya.
Rombongan topeng ngamen biasanya berjumlah sekitar enam-tujuh orang.
Dalam dunia pertopengan di Cirebon, bebarang
mempunyai arti yang sangat penting. Bagi para senimannya, bebarang tidak
semata-mata hanya untuk mencari nafkah,
akan tetapi yang terutama adalah sebagai ajang pelajaran dan latihan bagi calon
dalang topeng. Dari kegiatan inilah anak-cucu pewaris topeng itu ditempa
keterampilan dan keberaniannya.
Dari perjalanan wong beberang lahir genra tari
baru di Jawa Barat. Tari itu pertama lahirnya disebut Ibing Patokan. Kini
tarian tersebut terkenal dengan nama Tari Keurseus, yakni tari hasil
“perkawinan” antara Tayuban dan topeng
Cirebon.
[2] Kala itu ia agak takut karena saya
berambut gondrong. Ia baru terus terang setelah lima tahun kemudian. Saya
dikira orang DI/TII yang ingin menculiknya. Oleh tetangganya malah ia
diwanti-wanti agar waspada.
[3] Mereka bilang beli ketuku. Artinya belum
pas. Dalam topeng Cirebon, antara penari dan pengendang seperti orang jualan.
Ada pedagang dan ada pembeli. Yang menari itulah pedagang dan pengendang adalah
pembelinya. Satu sama lain harus mempunyai kecocokan, sehingga apabila
“transaksi” itu berjalan seiring maka kedua belah pihak akan merasakan kepuasan
yang sama. Dalam topeng Cirebon pengendang diwanti-wanti: aja ngelancangi.
Artinya , pengendang harus tetap
mengikuti gerakan-gerakan penari dan tidak mendahuluinya.
[4] Di awal pertemuannya dengan saya, ia
bertutur bahwa sudah sekitar 15 tahun tak lagi menari. Sejak itu badannya
merasa lebih sering sakit-sakitan.
[5] Salah satu matanya yang tidak bisa melihat
seringkali menjadi beban hidupnya. Suatu
saat pernah terjadi pembengkakan dan Wangi membawanya ke Rumah Sakit. Beberapa
kali saya membawanya ke dokter mata di Bandung. Selanjutnya dioprasi di Rumah
Sakit Cicendo.
[6] Sehari-harinya ia hanya mengandalkan biaya
hidup dari pensiunan suaminya, ditambah dari hasil mengasuh anak tetangga.
Sudah tentu jauh dari cukup, apalagi ia juga dibebani harus ikut menghidupi
cucu-cucunya.
[7] Di dalam tradisi topeng dan juga seni
tradisi lainnya, keluarga adalah penyangga utama kelangsungannya. Dalam sebuah
catatannya, Endo mengatakan bahwa tendensi endogamus ini barangkali terutama
bukan untuk wealth share (agar kekayaan tidak pindah ke keluarga lain, seperti
pendekatan teori sosial-ekonomi), tapi lebih kepada alasan blood share (atau
pewarisan spiritual) dan profesional share (yang terakhir ini mungkin juga
berhubungan dengan pertimbangan ekonomi).
Ada semacam kepercayaan, keyakinan,
bahwa topeng (seperti halnya seniman wayang dan gamelannya) hanya akan
bisa dibawakan secara sempurna oleh seniman turunan.
Pewarisan topeng Cirebon pada umumnya berjalan
di lingkungan keluarga, dari ayah/ibu ke anak-cucu dan keluarga seniman serta
mereka yang juga ikut hidup dari panggungan. Dalam hal ini mudah dipahami,
sebab lingkungan keluargalah yang punya kesempatan belajar dalam waktu yang tak terbatas. Keluarga adalah jembatan yang
paling menentukan kelangsungan tradisinya.
Sumber: Klik teng riki jeh...
Comments
Post a Comment