Oleh Alimah Fauzan
Hari ini saya
beberapa kali membaca artikel kawan kompasiana yang membahas tentang mainan
tradisional. saya punya cerita sendiri tentang mainan tradisional. bahkan saya
sendiri ketika mengetahuinya agak takjub, ternyata di Cirebon, di daerah saya
sendiri ada yang masih memproduksi mainan-mainan itu dan dijual sampai ke luar
Jawa. meskipun lagi-lagi, nasib mainan dan perajinnya tidak terdengar indah.
apalagi di tengah desakan modernitas sekarang ini. Ide untuk menggali informasi
tentang mainan-mainan ketika saya sering bolak-balik antara Kuningan-Cirebon.
Jadi setelah membaca ini, mungkin ada yang lebih memperhatikan jalanan sekitar
Beber-Cirebon. karena rumah-rumah mereka dekat jalan raya, dan tak jarang
mereka menunggu truk untuk diberihentikan dan mengangkat dagangan mereka di
jalan-jalan sekitar itu.
Salah satu
perangkat gamelan itu laris manis bak kacang goreng. Perangkat gamelan itu
disebut saron, ukurannya mini, saya malah pertama kali menyebutnya gamelan
kecil. Awalnya, saya mengira itu hanya mainan biasa untuk anak-anak. Tapi
ternyata memang asli, bisa membunyikan nada sesuai dengan kunci nada dari lagu
yang kita inginkan. Hanya saja, sebagian besar bentuknya mini. Untuk sebuah
saron yang bisa membunyikan nada do re mi dengan sempurna, harganya masih
sangat terjangkau. Di desa Kondangsari, masih dijual senilai 3500 rupiah per
saron, di wilayah tiga Cirebon dijual senilai 4000 rupiah per saron, sedangkan
untuk luar tiga wilayah Cirebon dan luar Jawa, dijual senilai 5000 rupiah per
saron. Sampai sekarang masih dibuat para perajin gamelan di Desa Kondangsari,
Kecamatan Beber, Kabupaten Cirebon.
Kami juga sempat
heran, ketika pertama kali melihat tumpukan saron yang siap dijual ke
Kalimantan. Karena di tengah menjamurnya mainan-mainan modern, saron tetap
bertahan. Uniknya, para perajin di desa Kondangsari tidak hanya membuat saron
mini, mereka juga masih banyak yang membuat mainan jaman dulu. Para perajin itu
bisa ditemukan di tiap rumah. Mainan yang pernah popular di tahun 1960-an.
Seperti manuk-manukan (burung-burungan) yang terbuat dari kertas dengan hiasan
plastik warna-warni emas perak, ada juga terompet dari kertas dan dihiasi
dengan plastik warna-warni hingga terkesan meriah.
Namun yang sampai
sekarang masih mendatangkan untung besar adalah gamelan. Alat musik tradisional
yang membunyikan nada do re mi. Kenapa kami menyebutnya nada do re mi, karena
sebelumnya nada gamelan itu hanya dibuat khusus nada lagu-lagu Sunda dan belum
dibuat khusus nada-nada lagu modern. Asal mulanya, alat musik ini hanya untuk
menghantarkan wayang kulit. Kini, karena sengaja dibuat nada do re mi, maka
lagu apapun bisa dibunyikan. Seperti diakui Oyo Darmaya (53), dibandingkan
kerajinan lainnya, saron sudah dibuat perajin di Desa Kondangsari dari tahun
1956.
“Tahun 1956 itu
baru ada satu perajin, bernama pak Soleh. Kemudian tahun 1960-an sudah muncul
tiga perajin handal. Mereka membuat dan menjualnya. Ini kan do re mi, salendro,
jaman dulu lebih khusus untuk lagu-lagu Sunda. Salendro itu dari Jawa. Kalau
yang dibuat sekarang ini do re mi, kalau dulu namanya lerog,” paparnya sambil
menunjukkan bagian-bagian dari saron di depannya.
Mandiri
Seperti para
perajin dan pengusaha gamelan lainnya, Oyo tidak hanya menjual saron ke
Cirebon, kini telah merambah ke Jakarta dan luar Jawa seperti Palembang,
Sumatra, dan Riau. Sebagai perajin sekaligus penjual saron, Oyo mengaku masih
baru. Baru dua tahun. Karena sebelumnya dia hanya membuat saja, alias mengikuti
orang tuanya. Dalam satu hari, kini dia dan beberapa pekerjanya mampu membuat
6000 do re mi. “Selama ini, selalu laku karena ini murah. Pasarannya juga
semakin ramai. Untuk jaman sekarang memang aneh. Kita sering bikin 15 ribuan do
re mi dan dalam sebulan tetap habis. Menjual mainan ini seperti menjual
sayuran, karena selalu laris manis,” jelas Oyo.
Kendati begitu, Oyo
masih mengaku menjual secara mandiri. Maksudnya, dia mempekerjakan orang lain
untuk menawarkan dagangannya hingga ke luar Jawa. Biasanya mereka akan kembali
lagi setelah sebulanan dan terjual habis. Seperti di Kalimantan, Oyo mengaku
dagangannya cepat laku. Hal itu diakuinya karena saron yang dijualnya memiliki
keunikan tersendiri. Baik dari proses pembuatannya maupun bahan-bahan yang
dipilih untuk membuat saron tersebut. “Tapi mereka (para pekerjanya) juga tak jarang
melebihi sebulan, jika kesulitan mendapatkan transportasi dengan biaya miring.
Mereka mau tidak mau harus menunggu sekitar 4-5 harian,” ujarnya.
Diakui Oyo, selama
ini peran pemerintah masih sangat minim. Terutama dalam upaya melestarikan
produk budaya, terbukti belum adanya bantuan dari pemerintah baik modal maupun
pelatihan. Oyo sendiri, pertama kali membuka usahanya, cukup dengan modal 3
juta. Tapi kini, dengan uang 3 juta belum bisa. “Sekarang harus 10 juta punya
modalnya. 3 juta itu hanya cukup untuk 50 ribu brim. Karena 30 brim saja itu
sudah 2 juta,” jelas Oyo.
Butuh Ketrampilan Khusus
Membuat saron (saya
suka menyebutnya sebagai gamelan mini) yang dijual Oyo ternyata tidak segampang
yang terlihat. Karena menurutnya, selain membutuhkan para perajin handal,
mengolah bahan-bahannya juga harus teliti dan jeli. Seperti salah satu perajin
yang disewanya, namanya Maman (21), warga Kondangsari. Dibandingkan perajin
seumurannya, Maman tergolong perajin yang cukup handal menciptakan irama do re
mi.
Proses pembuatan
dan bahan yang dipilihnya juga cukup unik. Contohnya, ketika membuat alas penyagga
yang ditempatkan untuk menyangga besi, Maman membutuhkan waktu sekitar tiga
tahunan agar handal membuat nada do re mi yang dibunyikan dari besi. Besi yang
digunakan juga harus melalui proses pembakaran terlebih dahulu. Sedangkan sumbu
sebagai alas besi tersebut, dibuat dari rumput (eri) khusus yang dibungkus
dengan kertas semen. Bahan-bahannya, biasanya meredak beli di Cikalahang.
Sekarang, sumbu-sumbu itu mudah didapat alias harganya mulai turun, karena
masyarakat lebih banyak menggunakan gas.
Maman mendapatkan
bayaran senilai 100 rupiah per besi do re mi. Sehingga, jika dalam sehari kerja
mendapatkan 400 besi, maka Maman mendapatkan upah senilai 40.000 rupiah. Selain
Maman, juga ada pekerja yang khusus mengecat papannya, yang memaku besi ke
papan, yang membakar besi, dan yang membunyikan irama. Menurut Maman, tingkat
kesulitan membuat do re mi, ini tergantung bahannya. Kalau besinya lebih tebal,
biasanya kurang pas nadanya. Cara pembuatannya juga harus rapih. Kalau tidak,
maka tidak menarik.
“Kalau membakarnya
kelamaan, maka tidak enak bunyinya. Jadi harus dikontrol. Kalau pengen bisa,
itu sekitar 3 tahunan agar bisa memadukan nada do re mi. Harus hapal juga bunyi
do re mi-nya,” papar Maman. Maman juga mengaku tertarik menekuni ketrampilan
membuat nada do re mi. Karena selain bayarannya lebih, juga ada kesenangan
tersendiri. Tak banyak orang yang mampu memadukan nada do re mi. Sehingga,
Maman tak jarang diminta bekerja oleh lebih dari satu pengusaha.
Sumber: Klik teng riki jeh...
Comments
Post a Comment