TEMPO.CO,
[Okt 2012] Cirebon - Siang lepas zuhur, Imam, 35
tahun, khusyuk melafalkan kalimat La Ilaa ha Illa Allah di bangsal Pesambangan
kompleks makam Sunan Gunung Jati, Gunung Sembung, Desa Astana, Kecamatan Gunung
Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Suaranya mendengung, menggema di seluruh
kompleks makam.
Serombongan dengannya, puluhan peziarah
tua-muda, laki-perempuan, turut berdoa mengikuti alur zikir Imam. Mereka duduk
bersila menghadap ke arah pintu Lawang Gedhe, yang seporos lurus ke arah
kuburan Sunan Gunung Jati di puncak gunung.
Sudah lebih dari satu jam mereka membaca
Tahlil, Yasin, dan Salawat Nabi di kompleks makam pada Mei 2010. Mereka percaya
roh Sunan Gunung Jati yang dimakamkan di situ dapat membantu mendekatkan diri
mereka dengan Tuhan, memberikan berkah, dan melapangkan jalan hidup.
Sementara itu, ribuan peziarah lain
berdesak-desakan keluar-masuk kompleks makam, untuk antre mendapatkan tempat
berziarah, menabur bunga, membaca Al-Quran, bersedekah, juga berbaur dengan
ratusan pengemis dan para juru kunci makam.
Imam dan rombongannya berasal dari Kediri, Jawa
Timur. Sudah empat hari rombongan naik bus menjalani wisata ziarah Wali Songo,
yaitu wisata mengunjungi makam-makam sembilan wali penyebar Islam di Jawa pada
abad ke-15 dan ke-16. Hari pertama dan kedua, mereka berziarah di makam-makam
wali di seputar Surabaya dan Lamongan, Jawa Timur.
Hari ketiga di Tuban, Kudus, dan Semarang,
Jawa Tengah. Kemudian di hari keempat, di makam Sunan Gunung Jati, Cirebon,
Jawa Barat. “Sudah empat kali saya berkunjung ke sini,” ujar Imam, yang mengaku
ziarah ke makam Sunan Gunung Jati selain untuk wisata dan beribadah, juga untuk
mendapatkan karomah obat mujarab bagi kesembuhan saudaranya.
Sudah tiga tahun saudaranya sering mengalami
demam dan sesak napas, meski telah diobati dokter. Untuk mendapatkan karomah
itu, Imam menaruh satu botol air Aqua di depan pintu Lawang Gedhe tempatnya
berdoa. Ia percaya selama ritual doa berlangsung, air dalam botol itu akan
mendapatkan limpahan energi spiritual, yang kalau diminum, Insya Allah akan
bisa membantu menyembuhkan sakit saudaranya.
Di Cirebon, rombongan Imam tinggal dua hari.
Selain ke makam Sunan Gunung Jati, mereka juga mengunjungi berbagai situs
peziarahan Islam yang banyak tersebar di Cirebon.
-----------------------------------------------------------
TEMPO.CO,
Cirebon - Di Cirebon, banyak terdapat situs peziarahan
Islam. Satu di antaranya adalah makam Sunan Gunung Jati. Imam, 35 tahun, dan
rombongannya yang berasal dari Kediri, Jawa Timur, menyambangi makam Sunan
Gunung Jati pada hari ketiga dari empat hari wisata ziarahnya.
Sunan Gunung Jati (1478-1568), atau Syarif
Hidayatullah, yang mereka ziarahi, merupakan wali paling berpengaruh dalam
pengislaman Jawa wilayah bagian barat. Ia juga pendiri dan raja pertama
Kasultanan Cirebon.
Kompleks makam seluas 5 hektare yang telah
berusia lebih dari enam abad itu terdiri dari sembilan tingkat pintu utama,
yakni pintu Lawang Gapura di tingkatan pertama, pintu Lawang Krapyak, Lawang
Pasujudan, Lawang Gedhe, Lawang Jinem, Lawang Rararoga, Lawang Kaca, Lawang
Bacem, dan Lawang Teratai di puncak kesembilan.
Wisatawan hanya diizinkan berkunjung sampai
bangsal Pesambangan, di depan pintu Lawang Gedhe, di tingkatan pintu keempat.
Sedangkan pintu kelima sampai kesembilan terkunci rapat, hanya sesekali dibuka
khusus bagi anggota keluarga Kerajaan Cirebon, atau orang yang mendapat izin
khusus dari Keraton Kasepuhan Cirebon, atau pada momen-momen tertentu seperti
pada malam Jumat Kliwon, Maulud Nabi, Gerebeg Idul Fitri, dan Gerebeg Idul
Adha.
Pada saat itu, pintu satu hingga pintu ketujuh
dibuka untuk umum, tetapi pengunjung tetap dilarang menerobos sampai ke bangsal
Teratai, tempat kuburan Sunan Gunung Jati beserta istri-istrinya bersemayam. Di
kompleks ini, pengunjung dilarang memotret, apalagi mengambil video. “Itu sudah
peraturan. Mesti ditaati,” ujar Pak Tawi, 54 tahun, pemandu wisata dan juru
kunci makam, kepadaTempo.
-----------------------------------------------------------
TEMPO.CO,
Jakarta – Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam salah
satu karya besarnya, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005), mengisahkan Cirebon
muncul dalam arus utama sejarah Nusantara baru sejak masuknya Islam yang dibawa
pedagang pribumi.
Di masa kejayaan Hindu, Cirebon kurang
penting. Cirebon masuk peta sejarah, tak lepas dari kisah dan peranan Sunan
Gunung Jati. Jejak-jejak wali penyebar Islam itulah yang kini menjadi tujuan
ziarah ribuan wisatawan.
Di antaranya empat bangunan keraton di Cirebon
yakni Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Keprabon, yang semuanya keturunan
Sunan Gunung Jati. Sepeninggal Sunan Gunung Jati, pada 1677, Kasultanan Cirebon
pecah menjadi tiga pemangku adat yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom dan
Panembahan, yang masing-masing membawahi wilayah sendiri-sendiri, yakni Keraton
Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Perguron Keprabon. Belakangan, Keraton Kanoman
pecah memunculkan keraton baru yakni Kacirebonan.
Keraton Kasepuhan dan Kanoman
Memiliki arsitektur perpaduan Sunda, Jawa,
Islam, Cina, dan Belanda, Keraton Kasepuhan merupakan istana tertua di Cirebon.
Didirikan 1529 oleh Pangeran Mas Mohammad Arifin II, cicit Sunan Gunung Jati.
Ada banyak bangsal yang masing-masing memiliki
fungsi sendiri-sendiri di kompleks istana. Di antaranya bangsal Prabayaksa,
dindingnya dibangun dari keramik dinasti Ming 1424, Cina, dan keramik Delf
Blue, dari Delf, Belanda, 1745.
Relief Delf Blue menceritakan perkelahian
Habil dan Qobil keturunan Adam, cerita dari perjanjian lama dari Bibel, dan
kisah percintaan Nabi Harun dan Siti Zulaikah. “Hadirnya keramik-keramik Cina
dan Belanda menunjukkan semangat multikulturalisme dari keraton Cirebon sejak
awal dibangun. Ini kerajaan Islam yang menghormati dan mengakui agama dan
kebudayaan lain,” ujar Muhammad Maskun, lurah keraton Kasepuhan kepada Tempo.
Museum Keraton Kasepuhan menyimpan aneka
koleksi bernilai tinggi seperti wayang
golek, topeng, keris, meriam, mebel, dan berbagai macam senjata api, samurai,
dan perlengkapan perang hasil pampasan armada perang Portugis abad 15. Di museum juga tersimpan Kereta Singa Barong
yang telah berusia 500 tahun, dan Tandu Garuda Mina yang dianggap suci dan
keramat.
Sedang Keraton Kanoman didirikan 1588 oleh
Sultan Kanoman I atau Sultan Badridin. Museum keraton ini menyimpan banyak
peninggalan Sunan Gunung Jati, di antaranya
kereta Paksi Naga Liman dan Paksi Jempana, yang dulu dipakai langsung
Sunan Gunung Jati, dan masih terawat baik hingga kini.
Aktivitas wisata di kedua keraton ini tak
lepas dari wisata peziarahan. Banyak pengunjung bersemedi dan membakar kemenyan
di bawah kereta Singa Barong dan Tandu Garuda Mina di Keraton Kasepuhan, atau
tirakatan di bawah kereta Paksi Naga Liman dan Jempana di Keraton Kanoman.
“Kadang ada yang bertapa sampai beberapa hari,” ujar Maskun.
Mauludan, atau peringatan hari lahir Nabi
Muhammad pada tanggal 12 bulan Maulud dalam kalender Jawa, merupakan puncak wisata
peziarahan di kedua kompleks keraton ini. Pada perayaan Mauludan, dilakukan
prosesi jamasan atau penyucian benda-benda pusaka kerajaan, dan aneka sesaji
digelar di Bangsal Agung Panembahan. Ribuan peziarah datang membaca Al-Quran,
berdoa, dan pada puncak perayaan berebut nasi tumpeng Gerebeg Maulud di
alun-alun keraton.
Perayaan yang sama juga digelar pada
kesempatan Gerebeg Syawal di hari raya Idul Fitri, dan Gerebeg Idul Adha.
Prosesi yang sama juga dilaksanakan di keraton Kanoman.
Yang menarik, selain warga muslim, banyak juga
warga Cina yang berziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Di makam mereka berdoa,
membakar hio, dan bersedekah uang kepada para pengemis di sekitar lokasi.
“Salah satu istri Sunan Gunung Jati, bernama Ong Tien Nio, adalah putri kaisar
Yung Lo dari Cina. Jadi, kehadiran warga Cina ke sini untuk menziarahi leluhur
mereka juga,” kata Hasan, 70 tahun, bekel sepuh atau lurah juru kunci pemakaman
Sunan Gunung Jati.
Para peziarah pribumi berdoa di depan pintu
Lawang Gedhe, sementara peziarah Cina berdoa dan membakar dupa di bilik depan
pintu Lawang Merdhu.
Setiap malam, kompleks makam ini juga ramai
didatangi peziarah untuk berdoa, yang di dalam kosmologi Jawa, malam dipercayai
merupakan waktu terbaik untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Di dalam kompleks
juga terdapat Masjid Dog Jumeneng, atau Masjid Agung Sunan Gunung Jati, yang
berkapasitas 3.000 orang.
Masjid ini dulu dibangun orang-orang Keling,
yaitu orang-orang India Tamil, setelah mereka takluk dalam usaha penyerangan
yang gagal terhadap kekuasaan Sunan Gunung Jati. Terdapat pula Paseban Besar,
tempat menerima tamu; Paseban Soko, tempat musyawarah; dan Gedung Jimat, tempat
penyimpanan guci-guci keramik kuno dari era Dinasti Ming, Cina, dan
keramik-keramik gaya Eropa, terutama Belanda.
Tur ke Cirebon memang identik dengan wisata
menziarahi situs-situs peninggalan Sunan Gunung Jati. Tak hanya kompleks
makamnya di Gunung Sembung, tetapi juga berbagai situs peninggalannya yang
tersebar di seantero Cirebon. Ini memang tak lepas dari sejarah Cirebon.
-----------------------------------------------------------
TEMPO.CO,
Cirebon - Masjid Agung Sang Cipta Rasa berada tak jauh
dari Keraton Kasepuhan, di Alun-alun Cirebon. Ini merupakan masjid keramat dan
satu di antara masjid tertua di Jawa yang dibangun pada 1489 oleh Wali Songo.
Masjid ini merupakan pasangan dari masjid
keramat lain dalam sejarah Islam di Jawa, yakni Masjid Agung Demak, di Demak,
Jawa Tengah. Ketika masjid Demak dibangun oleh Wali Songo, Sunan Gunung Jati
meminta izin membangun masjid kembarannya di Cirebon.
Tidak seperti masjid-masjid yang didirikan
Wali Songo pada umumnya yang mempunyai bentuk atap tajug (berbentuk piramid)
bersusun dengan jumlah ganjil, Masjid Agung Sang Cipta Rasa mempunyai bentuk
atap limasan dan di atasnya tidak dipasang mahkota masjid. Sehingga masjid dini
lebih tampak feminin dibandingkan dengan Masjid Agung Demak yang lebih berkesan
maskulin.
“Seperti juga dalam cerita pendirian Masjid
Demak, masjid ini juga dipercayai dibuat dalam waktu semalam oleh para wali.
Untuk menandai peresmian kedua masjid, pada waktu magrib para wali salat
berjamaah di Masjid Agung Cirebon, dan pada subuhnya mereka salat berjamaah di
Masjid Agung Demak,” ujar Abidin, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota
Cirebon.
Di antara penanda bahwa masjid ini warisan
dari era para wali adalah satu tiang penyangga atap di dalam masjid yang konon
dibuat oleh Sunan Kali Jaga dari tatal (serpihan kayu), yang disatukan dan
dibuat tiang. Konstruksi tiang ini sama dengan di Masjid Agung Demak. “Bedanya
kalau di Masjid Demak tiang tatal itu kini telah diganti. Di Masjid Cirebon
masih bisa dilihat keasliannya,” ujar Abidin.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa merupakan satu di
antara situs terpenting dalam rangkaian wisata ziarah Sunan Gunung Jati. Masjid
ini selalu ramai dikunjungi ribuan peziarah setiap hari, terutama pada malam
Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon. Biasanya orang datang untuk berzikir dan
tirakat malam di sini. Para peziarah percaya akan mendapatkan berkah dan
kemudahan dalam hidup jika melaksanakan ibadah dan tirakatan di masjid wali
ini.
-----------------------------------------------------------
TEMPO.CO,
Cirebon - Cerita tentang Walisongo, tak lepas dari
satu walinya yang paling berpengaruh yaitu Sunan Kalijaga, yang juga mempunyai
jejak di Cirebon. Petilasan Sunan Kalijaga terletak di Barat Sungai Sipadu, di
Jalan Pramuka, Desa Kalijaga, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Dikenal juga
sebagai Taman Kera, karena ada ratusan kera yang hidup di situs ziarah
sekaligus taman konservasi ini.
Menurut kepercayaan warga setempat, Sunan
Kalijaga di abad 15 pernah bertapa dan tinggal di sini untuk turut membantu
Sunan Gunung Jati dalam pendirian Kerajaan Cirebon.
Sebagai situs peziarahan, setiap hari puluhan
orang datang untuk ziarah dan berdoa. Bulan Ramadan merupakan masa paling ramai
di petilasan ini. Ribuan orang datang untuk berdoa, atau sekadar berwisata.
Petilasan ini dipercaya juga sebagai tempat mencari ‘pesugihan’ di Cirebon.
Makam
Syeh Siti Jenar
Sosok kontroversial dalam sejarah Walisongo
yaitu Syeh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang makamnya dipercayai berada di Desa Kemlaten, Kecamatan
Harjamukti, Kota Cirebon. Tak jauh dari situs petilasan Sunan Kalijaga yang
merupakan salah satu musuh besarnya. Jurnalis dan sastrawan Seno Gumira
Ajidarma pada 2007 melakukan napak tilas menelusuri situs-situs makam Walisongo
dari Tuban hingga Cirebon. Ia meyakini situs makam Syekh Lemah Abang di
Kemlaten, Cirebon, kemungkinan benar kuburan Syekh Siti Jenar.
Syekh Siti Jenar adalah seorang wali
kontroversial, yang meninggal setelah dihukum mati oleh dewan penyebar Islam di
Jawa, Walisongo, karena ajarannya dinilai sesat. Tesis ini sesuai dengan
keterangan dalam buku Babad Cerbon yang menerangkan asal kata Desa Kemlaten
dari kata Melati atau bau wangi bunga Melati yang keluar dari jasad Syekh Siti
Jenar ketika makamnya dibongkar.
Sebuah versi antistory menceritakan, Sunan
Gunung Jati kemudian telah mengirim empat pasukan kepercayaannya, yakni Ki
Lodaya, Ki Bawuk, Ki Torek dan Ki Loreng untuk membongkar makam musuhnya yang
dikeramatkan penduduk setempat ini, dan mengambil isi jasadnya untuk dibuang
entah ke mana, dan kemudian diganti dengan jasad bangkai anjing.
Namun versi cerita ini tak pernah berhasil
menjadi cerita arus utama yang memudarkan kepercayaan rakyat. Hingga kini,
makam yang telah berusia enam abad lebih itu, tetap diziarahi dan dipercaya
sebagai makam Syekh Siti Jenar yang sebenarnya.
Makam itu sederhana, hanya berupa satu cungkup
kuburan 180 x 90 sentimeter yang dipayungi kelambu putih. Situs ini satu di
antara situs peziarahan penting di Cirebon, yang tak pernah sepi dikunjungi
peziarah. Mereka biasanya ziarah menabur bunga, berdoa, membaca Al-Quran atau Salawat
Nabi di lokasi makam keramat ini, terutama pada malam Jumat Kliwon atau malam
Selasa Kliwon.
Selain situs-situs wisata ziarah berbasis
jejak Sunan Gunung Jati seperti ditulis di atas, di Cirebon masih banyak
situs-situs ziarah lain. Di antaranya; Masjid Merah Panjunan, Masjid
Pejlagrahan, Masjid Jagabayan, Situs Kejawan, Situs Ketandan, Situs Makam Syekh
Maghribi, dan Petilasan Pengeran Drajat, Gua Sunyaragi, dan taman wisata
Plangon.
-----------------------------------------------------------
TEMPO.CO,
Jakarta - Cirebon sejak awal merupakan kota
multikultur. Posisinya yang berada di pinggir pantai utara Jawa memungkinkan
menjadi oase akulturasi banyak kebudayaan, agama, dan ras.
Salah satunya Cina. Di Cirebon terdapat
Kelenteng Dewi Welas Asih atau Kelenteng Tiau Kak Sie yang merupakan kelenteng
tertua dan tempat peziarahan masyarakat keturunan Cina.
Dibangun pada 1595, kelenteng ini berada di
Jl. Kantor No. 2, Desa Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Tak jauh
dari wilayah Keraton Kasepuhan.
Bangunan kelenteng terdiri atas serambi dan
ruang utama. Di sisi kiri ruang utama terdapat altar Dewa Hok Tek Ceng Sin
(Dewa Bumi) dan altar Dewa Seng Hong Yah (Dewa Akhirat). Di tengah ruang
terdapat tempat abu, dua pembakaran hio, dan dua gentong abu. Sementara itu, di
sisi kanan ruang utama terdapat altar Lak Kwan Yah (Dewa Dagang) dan Couw Su
Kong (Dewa Dapur).
Sedangkan pada ruang suci utama yang berada di
belakang ruang utama terdapat patung dewa utama Kwam Im Posat, Thian Seng Bo
(Dewa Laut/Pelayaran) dan Kwan Te Kun (Dewa Perang). Di depan masing-masing
dewa itu terdapat meja altar yang di atasnya terdapat tempat abu dan lilin yang
tak pernah padam.
Di serambi kelenteng terdapat sebuah jangkar
sepanjang dua meter yang dipercaya sebagai jangkar bekas peninggalan armada
Laksamana Cheng Ho yang pernah berkunjung ke Cirebon sekitar 1430-1433.
Kelenteng Dewi Welas Asih tak pernah sepi sebagai pusat peribadahan dan peziarahan
orang Cina di Cirebon.
WAHYUANA|
IVANSYAH (CIREBON)
Comments
Post a Comment