KEBUDAYAAN lahir antara lain karena
kreativitas manusia yang menghendaki adanya harmonisasi dalam pergaluan sosial.
Namun kebudayaan bukan merupakan satu-satunya norma yang menjadi tolok ukur
pergaulan sosial. Lantaran masyarakat Cirebon juga memiliki watak beragama yang
relatif cukup taat, maka pesan-pesan agama pun kerap membingkai kebudayaan.
Bahwa kebudayaan adalah puncak kreativitas manusia, sehingga dengannya tercipta
interaksi dengan budaya (dan masyarakat) lain, fakta ini akan lebih memiliki
nuansa spiritual dengan masuknya pesan-pesan ajaran agama.
Cirebon sebagai daerah pantai Utara Pulau Jawa
bagian Barat dalam konteks sejarahnya terbukti mampu melahirkan kebudayaan yang
berangkat dari nilai tradisi dan agama. Tak pelak kesenian yang mengiringi kebudayaan
Cirebon memasukkan unsur-unsur agama di dalamnya. Dalam kaitan ini kesenian
yang pada mulanya merupakan sarana dakwah agama (Islam) menjadi semacam oase di
padang gurun. Betapa tidak. Syekh Syarif Hidayatullah yang juga dikenal dengan
nama Sunan Gunungjati bermukim di Cirebon mengembangkan agama melalui
pendekatan kultural.
Artinya budaya lokal yang telah hidup jauh
sebelum kedatangan beliau ke Cirebon tetap dipelihara, namun disisipi ajaran
agama. Misalnya masuknya do`a-do`a yang bersumber dari ajaran Islam manakala
masyarakat Cirebon melakukan ritual budaya mitoni (upacara kehamilan tujuh
bulan anak pertama). Begitu pula kebiasaan dalang wayang kulit Cirebon
menyisipkan hadis Nabi Muhammad saw, bahkan ayat suci Alqur`an ketika
mendalang. Kesenian tayub pun ternyata diambil dari bahasa Arab, yakni thoyib
yang berarti baik. Pentas seni tradisi Cirebon umumnya memang memiliki
spiritualitas Islam. Sebuah kolaborasi menarik antara nilai kultur dengan nilai
agama.
Kebudayaan Cirebon yang bukan Jawa dan bukan
Sunda itu akhirnya memiliki ciri khas sendiri. Yakni adanya keberanian untuk
mengadopsi nilai lama dengan nilai baru (saat itu) saat agama Islam mulai
diajarkan Sunan Gunungjati. Dalam pentas kesenian panggung, asimilasi budaya
terlihat jelas. Nilai budaya masyarakat pantai dipadukan dengan nilai agama.
Tak heran jikalau kenyataan ini mengundang nilai tambah yang patut disyukuri.
Artinya postmodernis sudah berlangsung dalam kesenian tradisi Cirebon.
Keberanian seniman tradisi memasukkan unsur baru (ajaran agama Islam) pada
kesenian lokal agaknya sepadan dengan nilai posmo.
Buah post modernis kesenian tradisi Cirebon
itu dipelihara dan dijaga dari kepunahan. Kendati harus terseok-seok menghadapi
tantangan, terutama kemunculan seni pop yang lebih mampu mengundang publik
serta kepraktisan alat musiknya ~namun seni tradisi tetap terpelihara. Gamelan
yang mengiringi seni tradisi Cirebon, harus diakui kini semakin sedikit yang
mampu (dan mahir) memainkannya. Malah usia para penabuh gamelan itu rata-rata sudah
renta. Sekolah karawitan dan seni tradisi Cirebon tergolong sepi peminat. Akan
tetapi bila sesekali datang ke Sanggar Sekar Pandan yang berlokasi di Jagastru
samping pasar, Anda akan melihat pelajar SMP dan SLTA Cirebon giat berlatih
memainkan gending-gending Cirebonan, tari Topeng Cirebon, termasuk tari kreasi
buah tangan Elang Heri Komarahadi dan kawan-kawan. Begitu pula sekecil apa pun,
peran pemerintah daerah masih tampak untuk memelihara seni tradisi Cirebon.
Dengan kata lain kekuatan seni tradisi Cirebon
yang berangkat dari filosofi kultural dan spiritualitas agama Islam, hingga
kini masih bisa kita saksikan. Kenyataan ini makin disyukuri dengan munculnya
sanggar seni tradisi di berbagai tempat di Cirebon.
Berbicara kebudayaan Cirebon tentu tak lepas
dari budaya pantai. Laut Jawa yang menyediakan kandungannnya terus dirasakan
manfaatnya dan menghidupi nelayan. Ungkapan rasa syukur atas pemberian Tuhan
mengenai ikan yang tiada habisnya di Laut Jawa itu, di Cirebon pun dikenal
Nadran, sebuah ritual persembahan nelayan atas rasa syukur kepada Tuhan. Nadran
juga biasa disebut pesta laut atau syukur pesisiran. Sebuah kegiatan yang tidak
hanya menampilkan karnaval kesenian tetapi juga memasukkan unsur spiritualitas
agama. Hasil panen kebun dan sawah pun turut dalam karnaval. Nadran dengan kata
lain merupakan pertalian manusia (nelayan) dengan alam dan Tuhan.
Masih banyak kesenian tradisi Cirebon yang
berangkat dari perpaduan kultural dan spiritual yang sampai sekarang masih
dapat kita saksikan. Meski kesenian tradisi itu tergolong jarang tampil di
hadapan publik, namun sesekali masih memperlihatkan sosoknya. Sebut saja
masres, sandiwara tradisional yang kerap menayangkan kisah masyarakat Cirebon
~utamanya sejarah sejak islamisasi meruyak di pedukuhan sunyi yang kelak
bernama Cirebon. Masres ini tergolong unik karena beberapa hal. Pertama, campur
tangan sutradara yang tidak dominan : pemain bebas berimprovisasi sepanjang
tidak membias dari inti cerita. Kedua, profesi keseharian para pemainnya yang
beragam seperti tukang becak, pembantu rumah tangga, nelayan, dan petani.
Ketiga, terlibatnya pelukis kanvas dengan menampilkan setting panggung untuk
layar cerita berupa beberapa lukisan dengan media cat sesuai episode cerita.
Sanggar masres yang dapat dijumpai di pantura Cirebon (kecamatan Kapetakan
kabupaten Cirebon) ini setidaknya menunjukkan adanya kesungguhan mempertahankan
seni lokal, betapa pun harus berhadapan dengan sejumlah realitas kekinian.
Dapat dibayangkan, masres dengan jumlah pemain
panggung bisa mencapai 30 orang lebih dan 20 nayaga, dua orang sinden, empat
orang yang mengurus properti, dan seorang narator; ternyata juga menampilkan
“perkelahian” di panggung. Perkelahian dimaksud bukan sebagai pelengkap cerita karena
(mungkin saja) dalam proses islamisasi pada masanya tidak lepas dari adu
kesaktian antar tokoh untuk mempertahankan eksistensi masing-masing. Maka
masres menghadirkan pemain silat dengan golok di panggung. Artinya kesenian ini
boleh disebut lengkap dengan segala keahlian spesifik para pemainnya.
Keberadaan masres pun bermakna kekuatan sastra lisan di masyarakat tersebut.
Berkaca dari kuatnya kisah/ sejarah Cirebon
dalam benak masyarakatnya lantas dapat dituangkan dalam bentuk seni
pertunjukkan, merupakan berkah tersendiri. Betapa cerita lisan yang berkembang
itu terekam begitu kuat. Kenyataan inilah yang menjadi alasan sutradara
kenamaan Arfin C. Noer mengatakan, “Kalau ingin belajar teater datanglah ke
Cirebon!”. Maksudnya, apalagi kalau bukan masres.
BUDAYA Cirebon yang kabarnya merupakan budaya
serapan Jawa (Kerajaan Mataram) dan Sunda (Kerajaan Sunda Kalapa) itu menempati
posisi unik. Dua budaya besar di pulau Jawa itu bertemu di Cirebon. Budaya
serapan itu pun makin lengkap bersintesa dengan spiritualitas Islam. Inilah
keberbagaian budaya Cirebon. Dan keberbagaian tadi mengisi ruang kesenian
lokal. Dari sinilah kemudian muncul seniman rakyat. Seniman yang asik berkarya
tanpa terpaku pada intruksi sutradara, sementara ketika tidak manggung mereka menjalani
profesi kesehariannya.
Jikalau kadang muncul anggapan adanya nilai
mistis yang diam-diam menyeruak pada seni tradisi Cirebon, misalnya keberadaan
dupa dan kemenyan, atau kembang tujuh warna ~hal itu sama sekali bukan media
mengundang kekuatan supra natural. Melainkan asap kemenyan dan bunga itu
merupakan peninggalan kultur Jawa yang berangkat dari ajaran Hindu. Sintren
misalnya kerap diduga bernuansa mistis. Hal ini patut diluruskan karena bekal
latihan yang memadai maka dalam waktu sekejap seorang perempuan dengan tubuh
terikat dan dimasukkan ke dalam kurungan ayam dapat mengganti kostumnya.
Menyikapi seni tradisi kiranya perlu memiliki
kearifan tersendiri. Kita mesti mengetahui proses perkembangannya seiring
perjalanan sejarah yang membingkai muasal seni tradisi itu. Kalau pun kritikus
sastra HB Jassin menyebut bahwa sastra lama bersifat mistis religius, saya
pikir tidak serta merta sastra lama itu berpegang erat pada kekuatan mistis,
mantra atau supra natural. Mistisisme itu sebatas pelengkap, sekaligus untuk
mengundang rasa penasaran penonton. Apalagi penonton masa kini yang relatif
mengenyam pendidikan formal cukup memadai.
Bersepakat dengannya, kebudayaan Cirebon (yang
salah satu bentuknya berupa seni tradisi) boleh dikata komprehensif, lengkap
dengan berbagai kekuatan imajinasi penggagasnya. Inilah sebabnya kebudayaan
Cirebon setara dengan post modernis pada masanya. Betapa nilai-nilai lama tetap
dipelihara lantas ia bersintesa dengan nilai-nilai baru. Perpaduan keduanya
itulah yang lantas membentuk budaya baru.
Seiring perjalanan waktu, dukuh yang semual
sunyi itu terus berkembang. Kepemimpinan awal di tangan Mbah Kuwu Cirebon
(Pangeran Cakrabuana) kemudian berlanjut melahirkan pemimpin generasi
berikutnya. Heterogenitas pun tak terelakkan. Bahkan sejak awal pun dukuh sunyi
itu telah didatangi imigran asal Arab, India, dan Cina. Dukuh sunyi itu pun
merangkak dan berkembang setelah witana (wit = tanaman, ana = ada) di sekitar
Pecinan ~Lemahwungkuk~ yang berbatasan dengan pesisir laut Jawa. Imigran Arab,
India, dan Cina itu pun mengembangkan budaya asalnya. Dan Cirebon menerima
kebudayaan ketiganya lalu memformula suatu bentukan baru. Bentuk baru inilah
yang bernama budaya Cirebon. Asimilasi budaya tersebut semakin variatif sejak
kehadiran VOC di Jawa. Tak heran apabila kereta kencana Paksinagaliman dan
Singa Barong mengambil prototipe campuran budaya Cina, India, dan Arab.
Kuil, vihara, klenteng, mesjid, gereja
dibangun berdekatan namun masyarakat tidak bergolak. Tidak ada pengrusakan
rumah ibadah. Yang ada adalah harmonisasi masyarakat untuk menjaga keajegan
budaya masing-masing. Kekuatan inilah yang patut dijaga agar tetap harmonis.
Agar budaya yang terkadang saling ingin mendesakkan keinginannya sendiri itu
tetap saling menghormati. Dan uniknya para leluhur Cirebon berhasil memadukan
perbedaan budaya itu pada satu wadah (formula) baru yang bernama budaya
Cirebon.
Post modernis yang ramai dibincangkan pada
tahun 1990 di Indonesia sebenarnyalah telah lama diterapkan leluhur Cirebon.
Dengan kreativitasnya leluhur Cirebon berhasil menggali nilai lama dan
meraciknya dengan nilai baru. Saya yakin inilah kekuatan kebudayaan Cirebon.
Kekuatan yang berproses memakan waktu dan tetap terjaga dari desakan budaya
baru lain yang lahir belakangan.
Masalah yang terus mengganjal dalam
perkembangan budaya Cirebon antara lain (dan ini yang terkuat) ialah keengganan
para pemilik kebudayaan itu memelihara dan merasa nyaman dengan kebudayaannya.
Kini generasi muda banyak berpaling ke budaya lain yang lebih instan serta
kurang mampu mencintai kebudayaannya sendiri. Budaya-budaya instan lengkap
dengan berbagai kemudahan dan aksesorinya memukau sejumlah anak muda. Ciri
tersebut tampak pada ketidakmampuan berbahasa Cirebon, dan jika mampu itu pun
hanya sebatas bahasa pergaulan yang dikenal dengan istilah bagongan. Kirik dan
ketek, serta ira dan isun tanpa mengenal kosa kata halus memang masih ada dan
terdengar dalam percakapan anak-anak muda. Namun sama sekali abai dengan
keseniannya, dan lebih luas dengan kebudayaannya sendiri yang telah mengalami
berbagai hantaman zaman. Anak-anak muda telah berpaling ke budaya pop.
Jikalau keadaan ini tidak segera dibenahi, ada
kekhawatiran anak-anak muda itu akan terasing dari kebudayaannya. Dan segera
setelah itu mereka akan beranggapan bahwa budaya Cirebon cukuplah diletakkan di
museum, atau sekadar ada ketika dibincangkan budayawan tua di ruang seminar.
Keterasingan terhadap kebudayaan sendiri pada gilirannya akan menghempas
kebudayaan pada kondisi yang menguntungkan. Kebudayaan bagai sebuah nilai lama
yang layak ditinggalkan lantas digantikan kebudayaan baru yang lebih mampu
menawarkan subjektivitas.
Budaya Cirebon tidak sekadar mengutamakan
subjektivitas, melainkan dengan kemampuan adaptasinya, ia telah bersintesa
dengan kebutuhan pada zamannya. Lihatlah ritual mapag sri misalnya. Sesaat
menjelang menanam padi di sawah, para petani mempersembahkan rasa syukur kepada
Tuhan karena alam telah demikian berdamai memberikan panen. Dewi Sri
sebagaimana diketahui adalah penjelmaan dewi padi yang bertugas antara lain
menyuburkan tanah pertanian sehingga padi tumbuh dengan sempurna. Adaptasi
budaya Hindu dengan ajaran Islam sebelum menanam padi, kini semakin jarang
terlihat. Teknologi dan mesin telah menyingkirkan mapag sri.
Budaya dengan demikian erat kaitannya dengan
pengetahuan manusia pada zamannya. Tapi ia tetap memperhitungkan aspek sosial
dan ekonomi. Dan budaya pulalah yang mengantarkan manusia pemilik kebudayaan
itu melakukan interaksi dengan alam sekitarnya. Harmonisasi pun tercipta
lantaran dilandasi oleh kebudayaan.
Tantangan kebudayaan lainnya yang cukup
signifikan ialah menyoal keberadaan budaya itu di tengah perubahan. Kerap
muncul pertanyaan, mampukah kebudayaan lama memberi manfaat secara langsung
kepada kekuatan globalisasi? Kedua, kebudayaan lama akan tergerus dan habis
dimakan kekuatan global karena ia hanya berkutat pada nilai lama, sementara
globalisasi membincangkan situasi terkini yang mencengkeram segenap umat
manusia di seluruh dunia. Globalisasi itu lintas komunitas dan lintas
geografis, sedangkan budaya lama masih terbingkai oleh batas komunitas dan
geografis. Maka pertarungan global pun diam-diam meredusir budaya lama.
Orang-orang berpaling lantas mendekap globalisasi yang terkesan lebih memberi
jawaban ketimbang budaya lama.
MEMBICARAKAN budaya Cirebon juga tak lepas
dari adanya pepatah lama atau yang lebih dikenal dengan nama wangsalan.
Wangsalan merupakan metode pembelajaran yang dilakukan orang tua kepada
anak-anaknya. Untuk menerangkan kosmologi dan geografi secara mudah, orang tua
menggunakan wangsalan : Nungsitu Nangsiton artinya gunung isie watu nagka isie
beton, Tangkehteng Lanjidang artinya bintang akeh peteng bulan siji padang.
Untuk menerangkan terjadinya demoralisasi, wangsalan itu berbunyi: wong lanang
ilang prawirae wong wadon ilang wirange artinya laki-laki kehilangan
keperwiraannya perempuan hilang rasa malunya. Untuk menjelaskan kemajuan zaman
karena teknologi yang terus berkembang, wangsalan diumpakan sebagaimana ngko
bakal akeh wong ngomong dewek kaya wong edan. Ini menandakan semakin banyak
orang bicara sendiri (melalui telepon) mirip orang gila.
Kekayaan budaya inilah yang membingkai Cirebon
sebagai komunitas dengan berbagai cirinya. Ciri tersebut lantas merangkai dalam
keseharian masyarakat Cirebon karena betapa pun perubahan zaman terus
berlangsung, budaya warisan leluhur itu tetap dijaga (kendati tak kuasa menahan
serangan budaya lain). Termasuk diantaranya sastra lisan, sastra yang pada
mulanya disenandungkan ibu ketika hendak menidurkan anaknya. Kekuatan sastra
lisan selain berfungsi sebagai transfer pepatah, ia pun merupakan jalinan
kedekatan batin antara ibu dengan anak. Sisi menarik inilah yang jadi penguat
budaya Cirebon.
Akan tetapi membicarakan Cirebon juga berarti
membicarakan pertemuan dua budaya besar yang mengapitnya. Budaya Sunda dan Jawa
yang mengapit budaya Cirebon, tak pelak hingga kini masih saling berebut kuasa
di Cirebon. Tak terasa perebutan kuasa budaya itu menghadirkan penolakan bahwa
Cirebon bukan Sunda dan bukan Jawa. Budaya Cirebon merupakan budaya serapan
dari berbagai budaya besar yang singgah di wilayahnya. Kondisi faktual inilah
yang jadi penyebab adanya budaya Sunda dan Jawa di Cirebon, terlihat misalnya
dalam penggunaan bahasa Sunda dan Jawa.
Yang tak kalah penting adalah keberanian
leluhur Cirebon melawan penindasan dan kolonialisme. Sejarah Cirebon dalam hal
perlawanan kepada Belanda dapat dilihat secara gamblang dalam Pemberontakan
Cirebon 1818 dari sebuah desa Kedongdong dengan pimpinan utamanya: Ki Bagus
Rangin, Ki Bagus Serit, dan Ki Bagus Arsitem. Konon pemberontakan ini merupakan
perlawanan kaum santri pertama kali yang terjadi di Indonesia. Kabarnya pula
pemberontakan ini cukup mengganggu stabilitas ekonomi negeri Belanda.
Dengan kata lain keperwiraan leluhur Cirebon
merupakan mata rantai sejarah nasional. Artinya pemberontakan Cirebon 1818
menginspirasi gerakan lain untuk melawan kesewenangan (despotisme) kaum
kolonial. Pemberontakan Cirebon 1818 kiranya patut diketengahkan kembali agar
keperwiraan tidak serta merta hilang dari kepribadian masyarakat Cirebon.
REP | 07 January 2012
Oleh Dadang Kusnandar
Sumber: Klik teng riki jeh...
Comments
Post a Comment