KRITIK ATAS METODE SEJARAH KRITIS: KASUS SUNAN GUNUNG DJATI

Dalam sebuah seminar tentang sosok dan peranan Sunan Gunung Djati yang diselenggarakan oleh Fakultas Adab IAIN Sunan Gunung Djati di Keraton Kasepuhan Cirebon tahun 2001, salah seorang pembicara yaitu Dr. Nina Herlina Lubis, Ketua Masyarakat Sejarah Cabang Jawa Barat menyampaikan makalahnya berjudul Analisis Historis tentang Sunan Gunung Jati. Dalam makalah itu, Nina “menggugat” sosok dan sejarah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati dari perspektif yang ia sebut sebagai metode sejarah kritis. Nina melihat masyarakat selama ini telah terlena dan terbuai oleh legenda-legenda dan mitos-mitos di sekitar sosok dan sejarah Sunan Gunung Djati, yang dalam perspektif metode sejarah kritis, sesungguhnya sumber-sumbernya meragukan dan dengan demikian masih perlu dipertanyakan. Tentu pendekatan metode kritis ini sangat penting dalam menyaring tingkat validitas atau kebenaran suatu informasi sejarah seperti selama ini mentradisi dalam penulisan sejarah ilmiah, tetapi dalam medan-medan historis tertentu metode itu sendiri problematis, ironis bahkan utopis. Metode itu sangat ketat dan susah pembuktiannya, sehingga sejarah mutlak bergantung pada fakta. Peristiwa yang tidak bisa dibuktikan fakta-faktanya berarti tidak ada alias dusta. Tentu saja pendekatan ini problematis terutama ketika diterapkan ke dalam medan historis negara-negara berkembang atau masyarakat tradisional atau kurun sejarah abad-18 ke belakang yang tidak meninggalkan sumber-sumber –yang dalam tradisi Barat disebut sebagai– “ilmiah.”
Perdebatan yang cukup panas dalam seminar tentang Sunan Gunung Djati ketika itu adalah salah satu buktinya. Sosok Sunan Gunung Djati secara keagamaan dan keruhanian dipercaya sebagai seorang waliyullah diantara walisongo yang kedudukannya tinggi di mata Tuhan, secara historis dipercaya sebagai penyebar Islam di Nusantara yang sangat dihormati dan tidak ada seorang pun meragukan keberadaannya. Tidak satu pun hardfact (fakta keras) yang tidak mendukung keberadaannya. Tapi, dalam seminar itu, analisis ilmiah sang sejarawan tidak menimbulkan “simpati dan ketentraman historis” malah menyulut suasana panas yang hanya menyumbangkan nihilisme. Tulisan ini ingin membuktikan bahwa metode sejarah kritis yang tampaknya “ilmiah” karena basisnya empirisme, rasionalisme dan muaranya adalah sekulerisme justru tidak ilmiah. Analisis dan pemikiran yang berbasis ketiga pilar ini justru sekarang sudah ketinggalan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Kurun dimana orang sudah masuk ke era posmodern, pendekatan ini masih di era modern. Makanya, seperti “gagah” ketika ditampilkan, tapi cemooh dan nihilisme yang sesungguhnya didapatkan.
Metode Sejarah Kritis
Mengutip dari Garraghan (1946), Nina menjelaskan, dari perspektif metode sejarah kritis, peristiwa sejarah yang benar-benar dapat dipercaya atau diakui kebenarannya (valid) hanyalah peristiwa-peristiwa yang menyandarkan pada strictly primary sources (sumber-sumber primer yang kuat). Mereka adalah sumber atau penulis sumber yang menyaksikan sendiri (eye-witness), mendengar sendiri (ear-witness) atau mengalami sendiri (the actor) sebuah peristiwa yang dituliskan dalam sebuah sumber. Inilah sumber yang paling terpercaya. Dibawahnya adalah less/contemporary strictly primary sources (masih sumber primer tapi kurang kuat). Bila strictly primary sources merujuk pada saksi mata (eye-witness) dan pelaku (the actor), sedangkan yang kedua adalah penulis sumber yang bukan saksi atau pelaku tapi hidup sezaman dengan peristiwa. Ketika unsur strictly primary source ini sudah terpenuhi, dalam memberikan keterangan sejarah atau menuliskan sumber sejarah, saksi mata yang pernah bertemu, hidup sezaman, mendengar langsung dan sebagai pelaku pun harus benar-benar teruji kejujurannya dalam menggambarkan sebuah peristiwa dan menyampaikan kebenaran. Selain itu, bila ditemukan satu sumber primer yang kuat juga belum cukup. Sumber primer tersebut harus didukung oleh sumber-sumber lain yang “bebas” dan tidak saling mempengaruhi untuk menemukan dukungan penuh kuatnya sebuah fakta. Metode ini disebut metode korborasi.
Selama ini, semua sumber-sumber sejarah tentang Sunan Gunung Djati, pendiri kesultanan Islam Cirebon, bersumber dari historiografi tradisional. Sumber-sumber itu adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Cirebon, Sajarah Babad Nagari Cirebon, Babad Tanah Djawi, Babab Sunan Gunung Djati, Wawacan Sunan Gunung Djati, Babad Walangsungsang dan sebagainya. Dari penelitian Dadan Wildan (2001) seperti dikutip Nina, ditemukan bahwa semua naskah-naskah itu ditulis sejak awal abad ke-18 atau seratus tahun lebih dari masa hidup Sunan Gunung Djati. Selama ini, berarti, sejarah Sunan Gunung Djati ditulis hanya berdasarkan naskah-naskah sekunder. Dengan demikian, tingkat kebenarannya lemah. Belum ditemukan sumber-sumber primer yang kuat seperty diharapkan stricly primary resources tentang Sunan Gunung Djati dari naskah-naskah pribumi (lokal). Dengan demikian, dari perspektif metodologi kritis, kesimpulan yang mesti ditarik adalah sosok dan keberadaan Sunan Gunung Djati hingga saat ini masih diragukan dan perlu dipertanyakan. Analisis ilmiah-akademis belum menunjukkan kebenaran adanya sosok Sunan Gunung Djati pernah hidup di masa silam.
Beberapa Pertanyaan
Metode ketat seperti ini tentu saja penting dan menarik. Sejarah memang harus dikritisi seradikal mungkin. Sejarah harus dibersihkan dari unsur-unsur mitos dan legenda, agar masyarakat membaca sejarah yang “benar.” Tetapi, pendekatan ini bukan tanpa masalah. Sejarah dan kehidupan tidak sesederhana ilmu pengetahuan menganalisisnya. Jawablah ini:
(1) Bagaimana membuktikan ribuan peristiwa-peristiwa sejarah yang secara common sense dipercaya keberadaannya oleh masyarakat tapi tidak memenuhi standar metodologi sejarah kritis apalagi korborasi?
(2) Metode ini bisa dengan mudah menjawab pertanyaan di atas dengan menyerukan untuk tidak lagi menganggap yang selama ini sesungguhnya mitos, legenda dan dongeng sebagai sejarah. Tetapi, bagaimana ketika “penghapusan” memori kolektif masyarakat tersebut sedang diusahakan, sementara mitos, legenda dan dongeng tidak pernah hilang, tetap hidup dan dipercaya masyarakat serta lebih fungsional untuk konstruksi dan peneguhan nilai-nilai kehidupan masyarakat.
(3) Bagaimana kita akan menyebut bahwa sejarah tentang sesuatu atau sejarah hidup seseorang —atas nama metode sejarah kritis— tidak bisa dipercaya karena tidak ditemukan strictly primary sources sementara ratusan fakta-fakta lain mendukungnya seperti adanya keturunan, artifactmentifact (kepercayaan dan nilai-nilai masyarakat sesuai tradisi berfikir) dan seterusnya. Hemat saya, artifact dan mentifact menjadi kebenaran tertinggi ketika sumber primer yang kuat tidak ada. Jadi “fakta kuat” bukan hanya actor, eye dan ear witness tapi bisa juga artifact dan mentifact tersebut.
(4) Islam mengharuskan keimanan kepada adanya nabi-nabi yang tidak pernah meninggalkan strictly primary sources. Kalau kita konsisten dengan metode sejarah kritis, kita mesti meragukan bahwa Nabi Adam A.S sampai Nabi Muhammad SAW ada dan pernah hidup selama belum ditemukannya sumber-sumber primer yang kuat. Selama ini belum ada strictly primary sources
(bangunan, candi, kuburan, keraton), tentang keberadaan Nabi Adam, Nuh, Hud, Luth, Sulaeman, Daud, Ibrahim dan yang lainnya selain keterangan dari kitab suci Al-Qur’an dan sedikit penemuan arkeologis. Kuburan Nabi Muhammad jadi meragukan karena tidak ada tulisan di nisannya bahwa itu benar-benar kuburan beliau, kalau pun ada bisa saja dibuat orang beberapa abad kemudian. Kemudian, naskah asli dan teruji Zaid bin Tsabits (penulis turunnya wahyu kepada Rasulullah) tentang turunnya ayat-ayat Qur’an juga tidak ditemukan. Demikian juga naskah asli dan teruji dari Aisyah, Khadijah dll yang pernah menjadi istri-istri Nabi, naskah asli dan teruji dari Fatimah Az-Zahra (anak perempuan Nabi), naskah asli dan teruji dari Ali bin Abi Thalib (menantu Nabi), naskah asli dan teruji dari Abu Bakar, Umar bin Khattab dll (sahabat-sahabat Nabi). Kita mungkin mengatakan Tuhan dan kitab suci bisa dipercaya karena Tuhan adalah kesaksian langsung sejarah atas diutusnya nabi-nabi. Tapi Tuhan tidak pernah diakui kehadirannya dalam konvensi ilmiah. Kita akan mencibir dan tertawa bila seseorang bersaksi lewat pertemuannya dengan hal-hal yan ghaib. Dalam tradisi berfikir modern, ghaib itu tidak ilmiah termasuk di sebagian kalangan orang-orang Islam, sementara ayat Allah mengatakan:
“Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Al-Baqarah 2 -5).
Kitab suci Al-Qur’an tidak bisa menjadi sumber sejarah karena tidak pernah menyebutkan waktu dan tempat sebuah peristiwa. Persoalan hadits lebih rumit lagi. Berdasarkan derajat validitas, hadits telah diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan: maudhu’ (palsu), hasan (bisa diterima), marfu (bohong), maqtu (terputus sanadnya), shahih (valid), muttafaq ‘alaih (disepakati oleh ahli-ahli hadits), dan mutawatir (valid berdasarkan kesaksian banyak orang). Hadist-hadist Bukhari-Muslim yang dulu dipercaya keshahihannya, belakangan sudah banyak yang diragukan. Ribuan hadits telah dipalsukan. Naskah-naskah asli tulisan zaman Nabi berupa kesaksian dan tulisan langsung mereka terhadap peristiwa turunnya ayat-ayat Qur’an dan pengakuan hidup Nabi selama ini belum ada. Bagaimana kita mengakui adanya Nabi Muhammad karena fisiknya tidak boleh digambarkan. Peristiwa Isra Mi’raj Nabi tidak ada satu pun saksi sejarahnya. Pembuktian semua peristiwa ini lemah secara sejarah kritis. Bagaimana semua ini harus dipercaya?
(5) Sejarah adalah peristiwa masa lalu yang memiliki kaitan dengan kehidupan manusia. Dengan demikian, sebuah fakta selalu terkait dengan sistem nilai dan kehidupan manusia (ideologi, kepentingan, subyektifitas dll). Fakta selalu merupakan produk mental sejarawan dan “fakta adalah hasil konstruksi subyek” (Sartono, 1992: 17). Bila demikian, maka sesungguhnya tidak ada sebuah fakta pun yang “bebas” yang diandaikan oleh metode koroborasi.

Problematika Sumber-sumber Barat

Sejak para sejarawan Barat menaruh perhatian pada sejarah Islam Asia Tenggara dengan segala aspeknya, mereka menemukan bahwa sejarah Asia Tenggara, khususnya di masa awal, sangat kompleks, rumit dan membingungkan. Menurut Azyumardi Azra (1989), hal ini disebabkan karena para sejarawan belum mampu merumuskan suatu paradigma historis yang dapat dijadikan pegangan bersama. Para pengkaji Islam Asia Tenggara memiliki perbedaan-perbedaan tentang konsep dasar yang menyebabkan mereka sulit untuk menyamakan pandangan satu sama lain.
Salah satu problema dan kesulitan itu adalah bahwa sumber-sumber pribumi atau lokal untuk studi-studi klasik (abad XIX ke belakang) atau Islam awal di Asia Tenggara lebih bersifat “mitos” dan “legenda” daripada sumber sejarah yang “ilmiah” dalam pengertian Barat. Historiografi yang terdapat di Asia Tenggara sesungguhnya melimpah tetapi “sayang” karena “hanya” berbentuk hikayat, babad, silsilah, cerita, syair dan lain-lain. Seperti diungkapkan Anthony John, kebanyakan literatur tersebut memiliki citra rendah dan tidak menguntungkan sebagai sumber-sumber sejarah. Sumber-sumber pribumi berupa roman, balada, dongeng, kronik dan risalah, semua itu tidak memenuhi kategori-kategori Barat tentang sumber ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena inilah “para peneliti atau sejarawan kemudian berpaling kepada sumber-sumber asing, khususnya yang ditulis oleh orang-orang Eropa yang datang ke Asia Tenggara sebagai pengembara, wartawan, misionaris dan kemudian juga sebagai kolonialis-imperialis” (Azyumardi (1989: vii). Tentu saja Nina mafhum tentang problematika sumber-sumber Barat ini, tapi inilah juga yang dilakukan Nina dalam makalahnya. Ketika ia tak mempercayai naskah-naskah tradisional karena hanya merupakan sumber-sumber sekunder yang kredibilitas infomasinya diragukan, Nina kemudian berpaling pada sumber-sumber Portugis dan Belanda. Sumber-sumber Portugis (sumber primer yang sezaman dengan Sunan Gunung Djati) yang dirujuk Nina adalah Suma Oriental-nya Tome Pires, Da Asia-nya De Barros, Perigrinacoes-nya Mendez Pinto, dan dari sumber Belanda, Frederick de Haan.
Seperti diungkap dimuka, penggunaan catatan-catatan atau sumber-sumber asing termasuk di kalangan para sejarawan, sumber-sumber Eropa juga problematis. Bagi kalangan sejarawan Muslim apalagi. Alam dan tradisi berfikir Eropa, istilah-istilah yang lahir dari nomenklatur masyarakat dan sistem nilai dan budaya Eropa, struktur sosial-politik Eropa sering begitu saja diproyeksikan ke dalam kehidupan Asia Tenggara dan masyarakat Islam. Akhirnya bias budaya tak terhindarkan. Muncullah miskonsepsi dan distorsi dalam memandang Islam. Saya ingin mengutip ulasan gamblang dan panjang Azyumardi tentang bias Barat bagi sejarawan Muslim ini.
Bias historis Barat sejak dari waktu yang paling awal, melihat Islam di Timur Tengah tidak urung lagi juga sangat mewarnai pandangan Barat terhadap Islam dan kaum Muslimin secara keseluruhan di Asia Tenggara. Von Mehden baru-baru ini dalam sebuah studinya tentang agama dan modernisasi di Asia Tenggara, misalnya menyatakan bahwa bias para penulis Barat awal dalam melihat agama (Islam khususya yang merupakan agama yang dianut oleh sebagian terbesar penduduk kawasan ini) dilatarbelakangi oleh kebodohan, rasa superioritas rasial, perbedaan agama, dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah kolonial. Para pengembara atau wartawan Barat yang menulis tentang Asia Tenggara khususnya, bukanlah para ahli, dan mereka umumnya membuat catatan-catatan berdasarkan kunjungan singkat dan kebanyakannya mengamati dari daerah perkotaan, sehingga mereka sebenarnya tidak banyak tahu tentang keadaan nyata penduduk pedesaan, pola-pola sosial mereka dan lain-lainnya. Di pihak lain, para misionaris Kristen pada umumnya menggambarkan agama-agama yang mereka temukan di Asia Tenggara sebagai kepercayaan sesat belaka, karena itu para penganutnya ialah orang-orang bodoh dan terkutuk. Meskipun terdapat penulis-penulis dari kalangan misionaris yang cukup “obyektif,” pada umumnya nada tulisan mereka adalah negatif, disebabkan perbedaan agama yang memang sulit disembunyikan. Sejauh menyangkut penggambaran Islam di Asia Tenggara, datangnya kekuasaan kolonial tidaklah membuat keadaan pengkajian Islam menjadi lebih baik. Pengkajian-pengkajian Islam dilihat dari sudut kepentingan pengukuhan status quo kolonialisme. Karenanya peneliti yang menggunakan sumber-sumber kolonial ini harus selalu mawas diri terhadap bias kolonial dalam sumber yang ia kaji, sehingga tidak tersesat pula mengikuti pandangan kolonialis. (hal. viii)
Kutipan tersebut jelas sekali memesankan dua hal secara eksplisit: (1) sumber-sumber Barat bukan alternatif dan tidak bisa dipercaya karena penuh dengan subyektifitas dan prasangka, (2) para sejarawan harus hati-hati atau mawas diri agar tidak terjebak ke dalam pandangan kolonial yang menyesatkan. Atas kenyataan itu Azyumardi berkesimpulan bahwa bagi sejarawan yang ingin menemukan obyektifitas, sumber-sumber asing ternyata tidak lebih reliable ketimbang sumber-sumber pribumi.
Inilah juga yang dirasakan De Graaf. Dalam tulisannya ‘Southeast Asian Islam to the Eighteenth Century’ (The Cambridge History of Islam, 1987), ia memulai tulisannya juga dengan kegamangan atas sumber-sumber pribumi. “Secara keseluruhan,” kata De Graaf, “catatan-catatan tentang pengislaman di dalam literatur dan tradisi Melayu dan Indonesia tidak dapat dipercaya, betapa pun banyaknya catatan-catatan itu. Terdapat semacam keseragaman tentang catatan-catatan itu, yang tidak benar bunyinya.” Tapi, bagi De Graaf, bersandar pada sumber-sumber Barat juga bukan menjadi lebih baik. Dan, Graaf harus mengkingkari pernyataannya sendiri karena sebuah “ketakberdayaan historis.” Bersama dengan Pigeaud, Graaf menulis buku yang terkenal De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java, Studien over de Staatkundige Gesschiedenis van de 15de en 16de Eeuw (Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16). Buku ini mengulas pengaruh Hindu - Budha dan masuknya agama Islam ke Nusantara dengan menggunakan seluruh sumber-sumber tardisional yang ada yaitu sejarah Jawa asli seperti Babad Tanah Djawa, Serat Kandha, Babad Mataram dan Babad Sangkala sambil di sana-sini kritis terhadap sumber-sumber Barat atau modern. Misalnya ada dua contoh. Pertama, ketika Graaf-Pigeaud mengikuti pemberitaan Portugis yaitu Mendez Pinto tentang Sunan Gunung Djati, mereka menyelipkan sebuah kalimat “yang tidak sepenuhnya dapat dipercaya” (hal. 142). Kedua, ketika Hoesein Djajadiningrat mengatakan bahwa wibawa kerohanian Sunan Gunung Djati di Jawa Barat sebenarnya kurang besar dibandingkan dengan “para ulama” Giri/Gresik di Jawa Timur pada abad ke-16 dan 17. Graaf-Pigeaud mengkritik pernyataan itu dengan mengatakan Hoesein tidak mempertimbangkan bahwa sejak awal abad ke-16, tradisi Islam sudah lebih awal tumbuh dan berkembang di Jawa Timur dan itu menjadi basis penghormatan masyarakat terhadap Sunan Giri/Gresik. (Hal. 144). Dan kini, pendapat Hoesein itu juga digugurkan oleh kenyataan bahwa ziarah ke makam Sunan Gunung Djati di Cirebon paling ramai dibandingkan dengan makam-makam lainnya. Buku Graaf-Pigeaud ini telah diangggap mengoreksi wajah sejarah Jawa yang telah ditulis para sejarawan Eropa yang hanya berdasarkan sumber-sumber asing. Dua sejarawan Belanda kawakan ini mempelopori penggunaan sumber-sumber pribumi. Berbeda dengan perspektif asing, pembahasan dalam buku itu bersifat menyeluruh menyangkut soal-soal keagamaan, sosial, dan ekonomi.
Tentu saja ini bukan sebuah ironi Graaf-Pigeaud, melainkan sebuah sikap, sebuah ketegasan memilih. Sumber-sumber tradisional kurang bisa dipercaya, banyak hikayat, mitos dan legenda. Tapi sumber Barat juga sama tidak bisa dipercayanya, banyak kepentingan dan prasangka. Akhirnya, keputusan harus dijatuhkan dan Graaf-Pigeaud lebih memilih sumber-sumber tradisional, karena mereka lebih dekat dengan obyektifitas, merekalah pelaku sejarah Asia Tenggara, orang-orang Eropa itu orang asing yang mengamati, tidak bisa obyektifitas diharapkan dari mereka. Strictly primary source disini tidak berlaku. Sejarah mesti memakai sumber “yang paling ada” bukan yang “harus ada.” “Yang paling ada” itulah kebenaran tertinggi. Yang “harus ada” itulah strictly primary source, kebenaran utopis dan tidak realistis.
Bukan hanya Graaf-Pigeaud, sejarawan Barat yang menegaskan pilihannya kepada sumber-sumber tradisional. Anthony Reid menggunakan Babad ing Sangkala 1738 bahkan yang sudah yang diterjemahkan terlebih dahulu oleh Ricklefs. Juga Babad Lombok dan Babad Tanah Djawi ketika menuliskan karya magnum opus-nya Southeast Asia in the Age of Commerce 1450 -1680 (1993). Selain babad, dia juga menggunakan sekitar delapan buah hikayat (Hikayat Banjar, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Patani, Hikayat Pocut Muhammat, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Ranto dan hikayat Teungku de Meuke) dan sumber-sumber tradisional lainnya, selebihnya adalah buku-buku modern-sekunder. Sebagai sejarawan ahli Jawa, Ricklefs juga tak bisa menghindari sumber-sumber tradisional. Ia menggunakan Carita Purwaka Caruban Nagari dalam bukunya A History of Modern Indonesia (1981), dan banyak sumber-sumber tradisional Jawa kuno dalam bukunya tentang pemerintahan Mangku Bumi, The Seen and Unseen World in Java (1997). Buku klasik penting tentang Asia Tenggara, Sejarah Melayu (The Malay Annal) yang hanya sebuah cerita dan “tidak ilmiah” hampir menjadi acuan semua sejarawan yang mengkaji Asia Tenggara. Rata-rata, buku-buku sejarah “ilmiah” karya-karya penulis asing, selain sedikit menggunakan sumber-sumber pribumi, ratusan lainnya adalah sumber-sumber sekunder karya-karya penulis asing atau pribumi periode-priode modern (lihat Anthony Milner, The Invention of Politics in Colonial Malaya (1994); A. Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450 -1680 (1993); Keith Buchanan, The Southeast Asian World (1967); D.G.E. Hall, A History of Southeasi Asia (1970); juga John Bastin (1967), van Leur (1955), Schrieke (1960) dll. Mereka semua memakai sumber-sumber tradisional dan sumber primer yang ada yang ditulis bahkan pada abad ke-20, padahal mereka menulis sejarah klasik, tanpa harus menyatakan kesimpulan bahwa sejarah Asia Tenggara masa-masa awal tidak usah dipercaya, bahwa keberadaan tokoh-tokoh sejarah abad-abad lalu hanya sekedar legenda dan mitos dan susah pembuktian historisnya.
Semua sejarawan di atas, Barat maupun pribumi, yang telah menghasilkan ratusan karya-karya berharga tidak ada yang bisa menghindari penggunaan sumber-sumber tradisional, yang tidak memenuhi standar ilmiah Barat itu. Tetapi, bukan berarti sejarah tidak harus direkonstruksi, tidak harus dituliskan dan tidak harus dipercaya hanya karena argumen tidak tersedianya strictly primary sources. Strictly primary sources dengan demikian hanya sebuah utopia yang sesungguhnya tidak menemukan juntrungannya dalam studi sejarah klasik. Ia hanya mungkin bagi studi-studi sejarah kontemporer dimana manusia sudah memiliki tradisi menuliskan apa yang dijalaninya. Strictly primary sources bahkan bisa menjadi a-historis ketika diterapkan sebab ia mengharuskan “penghapusan” dan “penghilangan” periode sejarah klasik. Makalah Nina, yang menggunakan metode sejarah kritis yang ketat dalam seminar di Cirebon, tidak sama sekali memberikan perspektif baru, penemuan baru, data baru dan penguatan baru atas sejarah Sunan Gunung Djati. Ia tak lebih hanya sekadar intellectual game dan intellectual exoticism yang menarik tapi sesungguhnya kurang bermanfaat.
Bias Barat Sejarawan PribumiKembali ke persoalan bias sejarawan seperti diungkap Azyumardi di atas, penulis tidak berpretensi mengatakan bahwa Nina “telah tersesat,” tidak juga pandangannya telah menyimpang, karena ia juga menemukan pandangan biasnya Tome Pires ketika mengisahkan “Lebe Uca” yang –mengikuti rekaan Atja– diduga adalah “Sunan Gunung Djati” dan “Pate Rodin” adalah “Raden Patah.” Tetapi bahwa pandangan Nina yang mengatakan bahwa “soal pertemuannya [Sunan Gunung Djati] dengan ruh Nabi Muhammad dan kisah-kisah legendaris [kesaktian para wali] tidak bisa dibuktikan secara historis,” adalah sebuah persoalan, terutama karena Nina adalah sejawan Muslim. Pandangan ini sangat bias kolonial, empiris-materialis dan menafikkan nilai-nilai kepercayaan yang hidup dalam masyarakat sebagai fakta sejarah.
Dari pernyataannya di atas muncul dua persoalan: Pertama, “tidak bisa dibuktikan secara historis.” Apa yang ia maksud dengan “historis”? Disini, Nina sama sekali tidak memakai perspektif Islam dalam memahami sejarah Islam. Pendekatan multidisipliner –yang diprakarsai Sartono– hanya sebatas ilmu-ilmu “umum” (filologi, semiotika, ekonomi, sosiologi, politik dll) dan tidak memasukkan khazanah “ilmu-ilmu Islam.” Padahal, dalam mengkaji sejarah Islam pedekatan ilmu dan tradisi Islam adalah sebuah kemutlakan. Bagaimana seseorang akan mempelajari struktur, ideologi dan gerakan tarekat tanpa faham ilmu tasawuf? Dalam ilmu dan tradisi tasawuf (sufisme), pertemuan dengan ruh yang sudah meninggal adalah hal biasa dan bisa dibuktikan oleh orang yang ingin membuktikan. Bila mesti ada saksi lain yang membenarkan peristiwa itu (korborasi), dalam tasawuf, orang tersebut harus menjalani (terlibat) dalam apa yang diamalkan dan dikembangkan dalam tasawuf (melalui taqarrub, taubat, dzikir, hadharah, riyadhah dll). Dengan kata lain, dia harus menjadi murid, darwis atau sufi melalui sejumlah amalan. Bila ini dijalani, atas izin Allah, seseorang akan dengan mudah berhubungan dan berkomunikasi dengan hal-hal ghaib. Dalam tasawuf, pertemuan dengan ruh Muhammad adalah dambaan dan impian para sufi, dan tidak akan mengalaminya kecuali sudah mencapai maqam tertentu. Oleh Syeikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati, pengalaman bertemu dengan ruh Nabi Muhammad adalah sesuatu yang sangat mungkin dan biasa, apalagi Sunan Gunung Djati diyakini orang dari dulu sampai sekarang sebagai wali bahkan disebut wali qutb (pemimpin para wali dari walisanga) karena mungkin selain “paling wali,” secara geneologis, beliau adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad sendiri. Kedua, walaupun maksud “historis” disitu ukurannya adalah empiris dan materialis, sesungguhnya hal-hal ghaib terdapat pembuktian empirisnya. Bukankah sihir dan teluh ada fakta empirisnya? Bukankah ketika Nabi Musa berdialog dengan Tuhan (Musa ingin melihat wajah Tuhan) ada fakta empirisnya berupa gunung yang meledak? Bukankah ketika Nabi Muhammad menerima ajaran-ajaran dari yang ghaib (Allah) ada fakta historis-empirisnya berupa tubuh Nabi yang bergetar, peluh keringat dan catatan Al-Qur’an yang dijamin kemurniannya? Dalam tradisi tasawuf, seseorang berjalan di atas air tanpa basah, shalat jum’at di Mekkah padahal menurut kesaksian orang dia ada di rumahnya dan tidak kemana-mana, merubah batu jadi emas, bertemu dan dialog dengan jin dan ruh yang sudah meninggal adalah biasa dan bisa dibuktikan. Dan al-Qur’an sendiri (surat 2: 154) menyatakan “wala taqûlû liman yuqtalu fí sabilillahi amwátun, bal ahyá-un, wa lá killa tasy-urûn” (Janganlah kalian menganggap mati mereka yang telah meninggal karena berjuang di jalan Allah. Sesungguhnya mereka itu hidup, kamu saja yang tidak mengetahui). Kedua, “hanya dipercaya oleh orang yang percaya saja.” Benar kata Nina, persoalannya adalah kepercayaan. Dan benar pula, sepanjang seseorang tidak percaya berarti baginya itu bukan fakta tapi hanya ilusi atau mimpi. Mudah-mudahan milyaran umat Islam tidak sedang mimpi dengan keyakinan agamanya, tentang nabi-nabinya, tentang Tuhan, malaikat dan akhirat dsb karena bagi strictly primary resources, semua itu hanya ilusi dan mimpi.
Ditempat lain, pernyataan bahwa “hanya dipercaya oleh orang yang percaya saja” adalah tergolong kepada mentifact yang tidak kuat. Karena kategorinya tidak kuat, nampaknya Nina tidak menempatkan diri disitu. Ia meragukan mentifact. Pernyataannya ini ironis dengan beberapa kesimpulannya. Misalnya ia mengatakan bahwa Sunan Gunung Djati adalah “seorang wali dari walisanga.” Dari mana Nina mengetahui dan meyakini bahwa Sunan Gunung Djati adalah seorang wali? Tentang keberadaan sejarah dan sosok Sunan Gunung Djati saja ia tidak percaya karena selama ini hanya bersumber dari historiografi tradisional yang ditulis tidak sezaman dengan masa hidup pendiri kesultanan Cirebon itu, apalagi anggapan bahwa dirinya adalah seorang wali.

Metode Ilmiah Barat Sudah Runtuh

Ilmu pengetahuan modern mengeksplorasi manusia dan alam bukan untuk kepentingan manusia itu sendiri (not for the sake of human being), dengan kata lain, ilmu hanya untuk ilmu, ilmu demi eksplanasi (for the sake of explanation), dan ilmu demi pengukuhan supremasi rasionalisme, bahkan ilmu demi kekuasaan (science for power). Akibatnya, perkembangan ilmu pengetahuan sering terlepas dari subyeknya yaitu manusianya sendiri. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan semakin berkembang cepat tapi tidak membawa kebahagiaan sejati manusia modern. Ilmu pengetahuan semakin complicated dan teknologi semakin canggih tetapi manusia modern malah mengalami dislokasi, disorientasi dan krisis dalam kehidupannya.
Menurut kesaksian Arnold (1992), hal itu terjadi karena wajah sains modern sesungguhnya adalah korup. Kepalsuan teori dan kerancuan prakteknya adalah karakeristik dari modernitas. Dalam bukunya yang menyengat, The Corrupted Sciences: Challenging the Myths of Modern Science (1992), Arnold berujar: “Modern sciences and technologies are corrupt not because they are evil in themselves…. but because many perceptions in, and methods of, science are wrong in theory and in practice, and because many scientists refuse to face the consequences of their work or make value judgements about its possible applications. Such an attitude makes technicians out of those who profess to practice science.” Lebih jauh, Arnold menyebutkan terdapat delapan dosa besar sains modern yang berkaitan erat satu sama lain: Pertama, orientasi mekanistis dan materialis yang ekslusif; Kedua, keasyikan dalam beroperasi (‘how’ things work) dengan melepaskan sebab-sebab dan akibatnya (‘why’ things work); Ketiga, spesialisasi yang berlebihan yang tidak berhubungan dengan persoalan global; Keempat, mengungkap hanya “pengetahuan yang tampak” (revealed knowledge) untuk menciptakan hanya satu jenis pengetahuan; Kelima, melayani vested-interest dan mode; Keenam, dedikasi kepada pesanan-pesanan sesuai kebutuhan, dipublikasikan, disembunyikan atau dilenyapkan; Ketujuh, kepura-puraan bahwa sains adalah bebas nilai; Kedelapan, kebanyakan dari sains dewasa ini, sebagaimana agama-agama Barat dan filsafat Barat selama ini, tidak berpusat pada manusia (hal. 16).
Bila dikritisi secara cermat, delapan poin kritik pedas Arnold di atas bukan melulu dominasi sains alam dan fisika saja, enam kritik terakhir dari poin-poin tersebut adalah watak khas ilmu-ilmu sosial juga, termasuk ilmu sejarah. Dalam tradisi ilmu sosial, seorang peneliti dan penstudi peristiwa sosial baru sah disebut sebagai “ilmuwan” bila memenuhi kriteria-kriteria yang disebutkan Arnold. Dalam studi sosial, subyek disyaratkan menjaga jarak dari obyek studi. “Obyektifitas” diukur oleh ketidakterlibatan. Tugas ilmuwan adalah hanya menjelaskan (to explain)(to involve). Bila sang subyek terlibat dengan nilai-nilai dan ideologi obyek maka ia kita pandang telah meruntuhkan otoritas keilmuwanannya. Ilmuwan demikian, kita klaim sebagai ideolog, mubaligh, demagog atau bahkan ”provokator.” di atas dogma-dogma obyektifitas dan netralitas, dan bukan terlibat
Analisis historis Nina tentang Sunan Gunung Djati sangat spesialis-teoritis ilmu sejarah, sangat only for the sake of explanation dan “objectivity is everything.” Nina, tampaknya, merasa naif bila ia harus berpihak pada sumber-sumber tradisional. Analisis Nina dalam tulisannya, hemat penulis, adalah manifestasi dari poin ke tiga sampai delapan dari ciri-ciri yang disebutkan Arnold di atas: sangat menekankan spesialisasi ilmu sejarah dan lepas dari pertimbangan makna, dampak sosial dan nilai-nilai religius-kultural masyarakat Jawa Barat, mengasumsikan hanya terdapat satu jenis pengetahuan (metode ilmiah Barat), kepura-puraan bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai (value- free), dan tidak berpusat pada manusia (scientific-oriented). Padahal, para pemikir belakangan membuktikan bahwa doktrin obyektifitas dan netralitas ilmu pengetahuan itu non-sense adanya. Habermas, salah satu juru bicara Frankfurt School yang paling menonjol, berhasil membuktikan bahwa sains modern telah lama berkolaborasi dengan imperium kapitalisme. Demikian juga Foucault. Seperti ia bongkar dalam Madness and Civilization (1965), ketika Foucault menggambarkan sejarah “kegilaan,” dengan terpana penuh kekagetan ia menyaksikan ternyata ilmu pengetahuan adalah hasil konstruksi kekuasaan selama berabad-abad. Sedangkan menurut Anthony Gidden, modernitas —sains adalah penopangnya— tak lebih dari sekadar sebuah proyek Barat. Bagi para pemikir posmodern, netralitas dan obyektifitas yang dipropagandakan modernitas tak lain kecuali ‘dagelan ilmu.’ Klaim “obyektifitas” dan “netralitas” sebagai doktrin ilmu pengetahuan Barat modern, hanya mengukuhkan tesisnya Foucault tentang “knowledge is power” atau tesisnya Habermas tentang “knowledge and interest,” bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan sejak zaman Fajar Budi pasca renaissance Eropa abad ke-18, yang menjadi basis dari hegemoni modernitas, merupakan konstruksi yang dibangun dalam rangka mempertahankan imperium narasi besar modernisme dan status quo yang bertengger di pusat kekuasaan kapitalisme dan peradaban Barat modern.[]
Moeflich Hasbullah, Dosen Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab IAIN Sunan Gunung Djati. Alumni Southeast Asian Studies ANU Canberra, Australia.

Daftar Inspirasi Anthony Milner, The Invention of Politics in Colonial Malaya. Contensting Nationalism and the Expansion of the Public Sphere, Cambridge University Press, 1994.
Arnold Arnold, The Corrupted Sciences. Challenging the Myths of Modern Science, Paladin, 1992.
Azyumardi Azra, Perspektif Islam Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta, 1989.
Bastin, Jhon and Harry J. Benda, A History of Modern Southeast Asia, Prentice Hall, 1967.
De Graaf, H.J., ‘Southeast Asian Islam to the Eighteenth Century’ dalam The Cambridge History of Islam, 1987.
De Graaf, H.J. & Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16, Jakarta, Grafitti, 1984.
Hall, D.G.E, A History of Southeast Asia, Third Edition, Macmillan, ST Martin Press, New York, 1970.
Keith Buchanan, The Southeast Asian World. An Introductory Essay, London: G. Bell and Sons. Ltd, 1967.
Michel Foucault, Madness and Civilization. A History of Insanity in the Age of Reason, New York: Random House, 1965.
Nina H. Lubis, Analisis Historis tentang Sunan Gunung Jati, Makalah pada Seminar Sunan Gunung Djati, 2001.
Reid, Anthony, 1993, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Volume Two: Expansion and Crisis, Yale University Press, New Haven and London.
Ricklefs, M.C. 1981. A History of Modern Indonesia. Asian Histories Series: MacMillan.
Ricklefs, M.C. The Seen and Unseen World in Java, Allen&Unwin, 1997.
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Gramedia, Jakarta, 1992.
Schrieke, B, Indonesian Sociological Studies, Sumur Bandung, 2nd Edition, 1960.

Comments

  1. Membaca tulisan ini menerbitkan dua sisi kesadaran yang memiliki sisi yang sama pentingnya:

    Rasionalism sebagai 'ambisi' budaya sosial, yang sangat penting agar peradaban terus berkembang menuju tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh waktu.

    Agama sebagai stabilisator pertarungan purba antara akal dan perasaan tidak boleh sekilas pun hilang jika tidak mau terjadi kerusakan dahsyat pada manusia.

    Jadi baik yang merasa kritis dan yakin sebenarnya keduanya masih dalam paparan khas keyakinan barat yang bertumpu pada keharusan adanya pembuktian dan pengakuan sosiologis dan psikologis. Sedangkan Cirebon tatkala sebelum, sedang dan susudahnya nilai yang tertingginya adalah lillahita'ala ( jujur/syahadat )

    ReplyDelete
  2. NINA yang sesat hati - hati......

    ReplyDelete
  3. Amanat wali Allah ٨٠٤/804/1402 mewakili kesatuan batu batu kuno ditemukan dikabupaten Sumedang 2014 lalu melengkapi peran dan pengaruh Sunan Gunung Djati melengkapi prasasti yang belum ditemukan sumber tertulis berupa prasasti ataupun tulisan dalam benda-benda peninggalan purbakala yang memberikan informasi tentang Sunan Gunung Djati (selanjutnya disingkat SGD). Yang ada yaitu sumber tulisan berupa naskah, yaitu karangan yang ditulis dengan tangan (dalam perkembangannya, naskah juga meliputi karangan yang ditik tetapi belum diterbitkan). Naskah-naskah yang berisi informasi tentang SGD, tergolong karya sastra sejarah, yaitu karya yang terdiri dari tiga unsur: sejarah, sastra, dan mitos.

    ReplyDelete

Post a Comment