Kliwonan

Malam jum'at merupakan malam yang sedikit lebih unggul dibandingkan dengan malam-malam lain. Hal ini berangkat dari sabda Nabi yang menyatakan bahwa Jum'at adalah Sayyidul Ayyam wa Hij jul Fuqoro wa 'Iedul Masaakiin. Bahwa Jum'at itu adalah hari yang paling utama, sabagai Hajjinya para faqir dan hari raya (kemenangannya) para masakin. Sabda Nabi itu direspon oleh masyarakat sebagai kabar gembira. Mereka berlomba untuk memperoleh berkah yang dilipat-gandakan pahalanya pada hari jum'at dari hari-hari yang lain. Mereka berlomba melaksanakan peribadatan sebisa dan sekuatnya. Aktivitas mereka ini menimbulkan keramainan yang pada gilirannya berpengaruh pada tatanan sosial masyarakat khususnya Gunung Jati.
Secara khusus, Jum'at Kliwon suasana keramaiannya jauh lebih meriah dibandingkan dengan jum'at-jum'at lain dan ini terjadi setiap 40 hari. Hal ini tak lepas dari akar tradisi yang berlaku saat Kesultanan Cirebon masih dalam kepemimpinan Sunan Gunung Jati. Sebagai penguasa wilayah Sunan Gunung Jati memerlukan laporan dari para adipati, bupati, tumenggung dan para menteri untuk memberikan laporan sekitar kondisi sosial dan politik dimana mereka berkuasa. Untuk kemudian melakukan koreksi dan intruksi untuk dilaksanakan sebagai langkah kelanjutannya. Tradisi laporan kegiatan ini adalah kegiatan politik yang berdampak langsung pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar Masjid Agung Sang Ciptarasa dimana Pelaporan ini dilakukan sebelum pelaksanaan Sholat jum'at. Sehingga setiap acara pelaporan bulanan ini diakhiri dengan pelaksanaan Sholat jum'at. Memasrahkan segenap permasalahan ummat pada taufik dan hidayah-Nya. Sebuah langkah politis yang dilandasi sikap agamis yang kuat dengan hiasan da'wah terhadap bawahan agar tidak melupakan Allah sebagai penguasa tunggal di jagad raya ini.
Para pejabat Keraton ini membawa pengawal dan sejumlah kerabat untuk mengiring mereka sekaligus shilaturrahmi dengan keluarga keraton di Keraton Pakungwati. Hal ini menimbulkan keramaian tersendiri. Masyarakat berduyun-duyun datang yang ingin bertemu dengan para ajengan mereka atau sekedar ingin tahu dan mengagumi penampilan mereka. Ajang pertemuan antar individu ini akhirnya menciptakan tradisi baru yaitu tradisi Seba Kliwonan. (Selayang Pandang Sejarah Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon, Kajian dari Aspek Politik dan Pemerintahan, R.H,UnangSunardjo, SH : hal 60)
Bila kemudian keramainn malam jum'at khususnya Jum'at Kliwon di Gunung Jati, Kasepuhan atau Kanoman ini menimbulkan dampak yang kurang baik, hal demikian merupakan pergeseran nilai dari sebuah tradisi yang dilaksanakan dengan melibatkan massa. Ini adalah resiko dari sebuah perkembangan. Sisi negatif akan mengiringi hal positif sebuah pelaksanaan ritual, bahkan sebuah pelaksanaan aktivitas apapun namanya.
Adanya kegiatan negatif yang menghias malam yang mulia, seperti adanya praktik prostitusi terselubung yang sifatnya rekreasi, atau sekedar mencari jodoh, memburu kekayaan lewat mistis, mencari ilmu-ilmu kedigjayaan dan ilmu-ilmu mistis lainnya dengan dalih kekuatan keramat yang masih kuat di sekitar Makbaroh Sunan Gunung Jati, adalah sisi gelap malam jum'at kliwon. Aktivitas tersebut mengiringi dan menjadi pembanding atas peribadatan yang dilakukan oleh peziarah yang menyadari keutamaan malam Jum'at sebagai Sayyidul Ayyam. Mereka tidak akan menyia-nyiakan malam ini berlalu tanpa kesan. taqorubban IlAllah.

Diambil seperlunya dari buku "Mengaji Pada Sunan Gunung Jati" karya Abdul Ghofar Abu Nidalloh

Comments